Oleh : KH. Ahmad Wafi Maimoen
Kedua
golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan
ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang
melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal
ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk
dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai
angan-angannya.
قطع السائرين له و الواصلين إليه عن رؤية أعمالهم وشهود أحوالهم. أما السائرون فلأنهم لم يتحققوا الصدق
مع الله فيها. وأما الواصلون فلأنه غيّبهم بشهوده عنها.
"Allah
mencegah orang yang menuju kepada-Nya dan orang yang telah wushul untuk
memandang amalnya masing-masing dan memperhatikan haliyahnya. Hal ini
dikarenakan, orang yang (berjalan) menuju kepada-Nya tidak merasa
bersungguh-sungguh terhadap Allah dalam amal ibadahnya, dan orang yang
telah wushul kepada Allah, diri mereka tenggelam dalam sikap musyahadah
dengan Allah, (sehingga) melupakan amal ibadahnya sendiri."
Yang
dimaksud dengan orang yang telah wushul kepada Allah adalah orang yang
menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dalam usaha membersihkan diri
(tazkiyatun nufus), sehingga hilanglah kekebalannya dan lenyap segala
macam hawa nafsu. Dan mata batin mereka menjadi terang, hanya melihat
Dzat yang menciptakan dan yang menciptakan sebab. Merekalah yang disebut
dengan al-washilin. Karena sebelumnya diri mereka tertutup oleh hijab
yang berupa hawa nafsu dan kebodohan yang menghalangi mereka dari Allah,
dan setelah hijab tersebut hilang dan bebas dari penjara nafsu, mereka
bisa sampai kepada Allah tanpa ada halangan apapun.
Adapun
orang yang berjalan menuju kepada-Nya, mereka adalah orang yang beriman
dan ikhlas dalam beramal, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangannya, dan berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan jiwa dari
kotoran-kotoran yang mengganggunya.
Kedua
golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan
ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang
melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal
ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk
dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai
angan-angannya.
Golongan
yang pertama, yaitu orang-orang yang berjalan di jalan Allah, bisa
mempunyai haliyah yang demikian, yakni tidak memandang amal ibadahnya
dan mengandalkannya, dikarenakan mereka, pada saat perjalanannya dalam
membersihkan jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin
bahwa amal ibadah dan ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan
penyakit-penyakit hati. Serta merasa bahwa amal ibadah mereka tidak
pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan mengharapkan pahala.
Seandainya kita mau merenung sejenak, kita akan menemukan kenyataan
bahwa amal dan taat yang kita kerjakan selalu dipenuhi dengan segala
macam aib dan penyakit serta banyak sekali kekurangannya. Memang,
sebagian di antara kita mungkin ada yang berkata, "Saya yakin, jika amal
ibadah dan ketaatan saya itu tidak terkena penyakit-penyakit hati yang
tercela. Setelah saya memperhatikan, saya berkesimpulan bahwa amal
ibadah saya terbebas dari berbagai macam afat dan kecacatan, karena saya
mengerjakannya sesuai dengan apa telah yang diperintahkan." Ketahuilah,
bahwa ucapan seperti ini justru merupakan aib dan penyakit tersendiri.
Penyakit ini dinamakan 'ujub (membanggakan diri sendiri), yang bisa
melenyapkan pahala ibadah dengan cepat.
Di
antara hikmah diciptakannya manusia dalam keadaan lemah, adalah supaya
kelemahannya itu membungkam mulut orang yang memamerkan dan membanggakan
bahwa dia telah menunaikan hak-hak Allah dengan sempurna tanpa cacat.
Dengan kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya itu, dia tidak
akan bisa untuk membanggakan dirinya lagi.
Adapun
golongan kedua, yaitu golongan yang disebut oleh Imam Ibnu 'Athoillah
dengan al-washil ilallah (yang telah sampai kepada Allah). Seperti yang
telah dijelaskan di atas, bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan
yang telah mereka kerjakan, tidak membanggakan diri dengan ibadahnya,
dikarenakan pikiran dan jiwa mereka telah tenggelam dalam kekhusyukan
beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan memperhatikan keadaan
(haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang pun dari
hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu
termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu,
setiap bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah
pula kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah
semua kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana
mungkin mereka para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya
termasuk golongan ini.
Walaupun
mereka tidak mengetahui keadaan diri mereka sendiri, namun hal itu
tidak menafikan bahwa mereka tidak bisa dikenali sama sekali. Ada ciri
yang bisa digunakan mengetahui hal ini, yaitu seperti yang dikatakan
Imam Ibnu 'Athoillah, mereka tenggelam dalam bermusyahadah dengan Allah
yang tidak pernah putus. Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak
sempat melihat dan menyaksikan amal ibadah dan kelebihan mereka, apalagi
sampai membanggakan dirinya dengan hal-hal tersebut.
Orang-orang
golongan ini selalu beramal sesuai dengan ketentuan syariat,
memfokuskan segenap kemampuannya untuk membersihkan jiwa dari
penyakit-penyakit yang tak terlihat, seperti hasud, sombong, cinta
dunia, dan sebagainya. Mereka menyibukkan seluruh waktunya hanya untuk
mengingat Allah. Jika keadaannya demikian, bagaimana mungkin mereka
mengalihkan perhatiannya dari Allah dengan menghitung-hitung amal ibadah
yang dikerjakan, sedangkan mereka menenggelamkan diri mereka dalam
sikap musyahadah dengan Allah. Orang yang tidak termasuk dari dua
golongan ini, yaitu mereka yang selalu menghitung-hitung amal yang
mereka persembahkan kepada Allah, telah melakukan satu macam dari syirik
khofi yang paling jelek.
Adapun
yang dimaksud dengan ahwal dalam kalimat Ibnu Athoillah di atas adalah
keadaan yang dialami oleh seorang salik, berupa kondisi dan perubahan
yang menunjukkan akan bersih dan cemerlangnya keadaan diri salik.
Seperti rasa khosyyah (takut), khusyu' dalam salat, berdoa dan munajat,
bertambahnya rasa pasrah terhadap Allah, rasa tawakkal, rido dengan
takdir, dan timbulnya keramat dan keanehan dalam dirinya. Sifat-sifat
ini merupakan kondisi emosional yang dialami seorang salik, yang
menunjukkan akan bagus dan terpujinya haliyahnya. Dia terkadang lama
mengalami kondisi ini, kadang juga singkat. Tapi jika seseorang gembira
dengan keadaannya itu dan mementingkannya, serta menganggapnya sebagai
tanda bahwa dirinya telah mencapai derajat yang mulia, maka sesungguhnya
hal tersebut merupakan kecelakaan dan menariknya dalam kubangan
kejelekan.
Penulis: KH. Muhammad Wafi MZ. Lc, MSI
0 komentar:
Posting Komentar