dua org yang di selamatkan dari ujub

on Kamis, 29 Mei 2014
Oleh : KH. Ahmad Wafi Maimoen

KH. Ahmad Wafi Maimoen
Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.
قطع السائرين له و الواصلين إليه عن رؤية أعمالهم وشهود أحوالهم. أما السائرون فلأنهم لم يتحققوا الصدق


مع الله فيها. وأما الواصلون فلأنه غيّبهم بشهوده عنها.


"Allah mencegah orang yang menuju kepada-Nya dan orang yang telah wushul untuk memandang amalnya masing-masing dan memperhatikan haliyahnya. Hal ini dikarenakan, orang yang (berjalan) menuju kepada-Nya tidak merasa bersungguh-sungguh terhadap Allah dalam amal ibadahnya, dan orang yang telah wushul kepada Allah, diri mereka tenggelam dalam sikap musyahadah dengan Allah, (sehingga) melupakan amal ibadahnya sendiri."

Yang dimaksud dengan orang yang telah wushul kepada Allah adalah orang yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dalam usaha membersihkan diri (tazkiyatun nufus), sehingga hilanglah kekebalannya dan lenyap segala macam hawa nafsu. Dan mata batin mereka menjadi terang, hanya melihat Dzat yang menciptakan dan yang menciptakan sebab. Merekalah yang disebut dengan al-washilin. Karena sebelumnya diri mereka tertutup oleh hijab yang berupa hawa nafsu dan kebodohan yang menghalangi mereka dari Allah, dan setelah hijab tersebut hilang dan bebas dari penjara nafsu, mereka bisa sampai kepada Allah tanpa ada halangan apapun.

Adapun orang yang berjalan menuju kepada-Nya, mereka adalah orang yang beriman dan ikhlas dalam beramal, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, dan berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang mengganggunya.

Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.

Golongan yang pertama, yaitu orang-orang yang berjalan di jalan Allah, bisa mempunyai haliyah yang demikian, yakni tidak memandang amal ibadahnya dan mengandalkannya, dikarenakan mereka, pada saat perjalanannya dalam membersihkan jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin bahwa amal ibadah dan ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan penyakit-penyakit hati. Serta merasa bahwa amal ibadah mereka tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan mengharapkan pahala. Seandainya kita mau merenung sejenak, kita akan menemukan kenyataan bahwa amal dan taat yang kita kerjakan selalu dipenuhi dengan segala macam aib dan penyakit serta banyak sekali kekurangannya. Memang, sebagian di antara kita mungkin ada yang berkata, "Saya yakin, jika amal ibadah dan ketaatan saya itu tidak terkena penyakit-penyakit hati yang tercela. Setelah saya memperhatikan, saya berkesimpulan bahwa amal ibadah saya terbebas dari berbagai macam afat dan kecacatan, karena saya mengerjakannya sesuai dengan apa telah yang diperintahkan." Ketahuilah, bahwa ucapan seperti ini justru merupakan aib dan penyakit tersendiri. Penyakit ini dinamakan 'ujub (membanggakan diri sendiri), yang bisa melenyapkan pahala ibadah dengan cepat.

Di antara hikmah diciptakannya manusia dalam keadaan lemah, adalah supaya kelemahannya itu membungkam mulut orang yang memamerkan dan membanggakan bahwa dia telah menunaikan hak-hak Allah dengan sempurna tanpa cacat. Dengan kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya itu, dia tidak akan bisa untuk membanggakan dirinya lagi.

Adapun golongan kedua, yaitu golongan yang disebut oleh Imam Ibnu 'Athoillah dengan al-washil ilallah (yang telah sampai kepada Allah). Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan, tidak membanggakan diri dengan ibadahnya, dikarenakan pikiran dan jiwa mereka telah tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan memperhatikan keadaan (haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang pun dari hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu, setiap bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah pula kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah semua kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana mungkin mereka para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya termasuk golongan ini.

Walaupun mereka tidak mengetahui keadaan diri mereka sendiri, namun hal itu tidak menafikan bahwa mereka tidak bisa dikenali sama sekali. Ada ciri yang bisa digunakan mengetahui hal ini, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ibnu 'Athoillah, mereka tenggelam dalam bermusyahadah dengan Allah yang tidak pernah putus. Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak sempat melihat dan menyaksikan amal ibadah dan kelebihan mereka, apalagi sampai membanggakan dirinya dengan hal-hal tersebut.

Orang-orang golongan ini selalu beramal sesuai dengan ketentuan syariat, memfokuskan segenap kemampuannya untuk membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit yang tak terlihat, seperti hasud, sombong, cinta dunia, dan sebagainya. Mereka menyibukkan seluruh waktunya hanya untuk mengingat Allah. Jika keadaannya demikian, bagaimana mungkin mereka mengalihkan perhatiannya dari Allah dengan menghitung-hitung amal ibadah yang dikerjakan, sedangkan mereka menenggelamkan diri mereka dalam sikap musyahadah dengan Allah. Orang yang tidak termasuk dari dua golongan ini, yaitu mereka yang selalu menghitung-hitung amal yang mereka persembahkan kepada Allah, telah melakukan satu macam dari syirik khofi yang paling jelek.

Adapun yang dimaksud dengan ahwal dalam kalimat Ibnu Athoillah di atas adalah keadaan yang dialami oleh seorang salik, berupa kondisi dan perubahan yang menunjukkan akan bersih dan cemerlangnya keadaan diri salik. Seperti rasa khosyyah (takut), khusyu' dalam salat, berdoa dan munajat, bertambahnya rasa pasrah terhadap Allah, rasa tawakkal, rido dengan takdir, dan timbulnya keramat dan keanehan dalam dirinya. Sifat-sifat ini merupakan kondisi emosional yang dialami seorang salik, yang menunjukkan akan bagus dan terpujinya haliyahnya. Dia terkadang lama mengalami kondisi ini, kadang juga singkat. Tapi jika seseorang gembira dengan keadaannya itu dan mementingkannya, serta menganggapnya sebagai tanda bahwa dirinya telah mencapai derajat yang mulia, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan kecelakaan dan menariknya dalam kubangan kejelekan.


Penulis: KH. Muhammad Wafi MZ. Lc, MSI

0 komentar:

Posting Komentar