DR. KH. Abdul Ghofur, MA.

on Sabtu, 31 Mei 2014

Gus Ghofur, demikian Putra kelima KH. Maimoen Zubair dari istri kedua, Ibu Nyai HJ Masthi'ah, biasa dipanggil. Pemilik nama lengkap Abdul Ghofur ini dikenal bandel semasa kecilnya. Tidak seperti kakak-kakaknya, Ghofur kecil terhitung sering bermain seperti layaknya anak-anak di kampung nelayan. Namun, sebagai putra Ulama, sifat-sifat kesalehan yang ditanamkan orang tuanya, membuat ia berbeda dari anak kampung sebayanya.


Pendidikan dasar hingga menengah dituntaskannya di Madrasah Ghazaliyah Syafi'iyyah, Sarang, Rembang. Semasa belajar di Ghozaliyah, putra Mbah Moen yang sudah dikenal cerdas dan kritis sejak belia ini banyak meraih prestasi. Bintang Kelas dan Rais kelas, sebuah jabatan prestisius di lingkungan pesantren Sarang, hampir tidak pernah luput dari genggamannya.

Tidak hanya urusan pelajaran, di bidang organisasi pun prestasinya cukup mengkilap. Selama dua periode berturut-turut Ghofur remaja dipercaya sebagai ketua Demu MGS (OSIS-nya MGS).

Seabrek prestasi ditambah kedudukannya sebagai putra Ulama, tidak membuatnya angkuh, sombong dan dumeh (mentang-mentang). Memang demikian putra-putri Mbah Moen dididik. Untuk ukuran agagis dengan santri ribuan, putra-putri Mbah Moen relatif bersikap egaliter.

Usai menyelesaikan pendidikan di MGS tahun 1992, Gus Ghofur sempat membantu Abahnya mengajar di pondok dan mengomandai keamanan Pusat. Pada 1993 beliau melanjutkan studinya di Al-Azhar University, Kairo. Ini merupakan hal baru dalam tradisi pendidikan putra-putri Mbah Moen.

Di Kairo, kecerdasannya kembali menorehkan prestai mengkilap. Selama empat tahun menyelesaikan program S1 Usuhuludin jurusan Tafsir di Al-Azhar, semua ujian dilaluinya dengan nilai Jayiid Jiddan, sebuah prestai langka di kalangan mahasiswa Indonesia di Kairo. Materi Program S2 di jurusan yang sama selama dua tahun juga dilahap dengan hasil akhir Jayyid Jiddan.

Keberhasilan itu tidak lepas dari ketekunan dan kesabaran yang "tiba tiba" menjadi kebiasaan beliau selama belajar di Kairo. Ketika di MGS Sarang, beliau tidak termasuk orang yang rajin. Tetapi sejak di Kairo beliau bisa dan biasa menghabiskan waktu berjam-jam untuk memelototi kitab. Dan ketika ketekunan dan kesabaran itu dipadu dengan karunia Allah, kecerdasan, maka prestai akademik adalah sesuatu yang niscaya terjadi.

Tentang hal ini ada kawan yang bercerita, "Sing ngajari bahasa Inggris Gus Ghofur, ki, aku. Eh, pas ujian aku mung Jayyid Jiddan, Gus Ghofur malah mumtaz". Siapa yang tidak tahu kalau ketika pertama kali datang ke Kairo Gus Ghofur Awam bahasa Inggris. Namun ketekunan dan kesabarannya telah berhasil menjinakkan ujian bahasa Inggris di Al-Azhar.

Setelah melalui perjuangan yang melelahkan, pada 2002 gelar Master berhasil diraihnya. Dikatakan melelahkanm karena untuk mencapi gelar itu Gus Ghofur harus menulis tesis setebal 700 halaman dan harus mencantumkan banyak maraji'. Padahal tradisi menulis baru ia tekuni sejak tahun keempatnya di Kairo. Orang yang mengenal Ghofur kecil dan tidak mengikuti perkembangannya di Kairo pasti terheran-heran ketika googling "Abdul Ghofur Maimoen" di internet. Sebab hasil googlingitu akan menampilkan berbagai tulisan beliau yang pernah dimuat di dunia maya. Ya, dari Abdul Ghofur yang gagap tulis menjadi Abdul Ghofur yang produktif menulis.

Gus Ghofur mengakhiri masa lajangnya pada tahun 2003. Gadis yang beruntung dipersuntingnya adalah Nadia, putri KH Jirijis bin Ali Ma'shum Karpyak Yogyakarta. Dari perkawinannya beliau telah dikaruniai seorang putra bernama Nabil.

Kader NU Mesir Raih Gelar Doktor Tafsir dari Univ Al-Azhar

Desertasi setebal 1700 halaman dan terbagi menjadi 2 jilid ini disidangkan pada hari Sabtu (12/6) di Auditorium Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Salah satu kader terbaik Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir, Abdul Ghofur Maemun, kembali telah mengharumkan nama baik Indonesia dan menambah deretan peraih gelar Doktor di bidang ilmu tafsir. Ia lulus setelah dapat mempertahankan dari desertasinya yang berjudul Hasyiah Al-Syekh Zakaria Al-Anshary Ala Tafsir Al-Baidhawy, Min Awwal Surah Yusuf Ila Akhir Surah l-Sajdah dengan hasil yang mumtaz ma'a martabati syarafil ula (summa cumlaude) dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Yang menarik adalah prakata dan kutipan akhir sebelum pengukuhan gelar dari para guru besar dan tim penguji terhadap desertasi putra kiai kharismatik asal Sarang, Jawa Tengah, KH Maemun Zubair ini adalah "Syarah dan komentar yang ditulis Syeikh Abdul Ghofur ini lebih baik dari yang di tulis Syeikhul Islam, Syekh Zakaria al-Anshori". Sementara Rais Syuriyah PCNU Mesir Dr Fadlolan Musyaffa berkomentar "Ini sungguh luar biasa. Andai ada nilai di atas summa cumlaude, mungkin akan dianugerahkan pada sidang disertasi Gus Ghofur. Sayang, hasil itu sudah mentok paling atas," terangnya seusai acara. Desertasi setebal 1700 halaman dan terbagi menjadi 2 jilid ini disidangkan pada hari Sabtu (12/6) di Auditorium Abdul Halim Mahmud, Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar. Sebagai tim pengujinya adalah Prof Dr Muhammad Hasan Sabatan, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fakultas Ushuluddin Kairo (penguji dari dalam), Prof Dr Ali Hasan Muhammad Sulaiman, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fakultas Dirasat Islamiyyah Banin Kairo (Penguji dari Luar) dan dua pembimbing Prof Dr Sayid Mursi Ibrahim Al-Bayumi, Guru Besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fak.Ushuluddin Kairo dan Prof Dr Abdurrahman Muhammad Aly Uways, guru besar Tafsir dan Ulumul Qur`an Fak. Ushuluddin Kairo. Selain itu juga, sidang yang dimulai pukul 14.00 waktu setempat dihadiri sekitar seratusan lebih mahasiswa/i dan simpatisan baik warga Indonesia maupun Mesir.

wudhu


1.Pendahuluan
            Wudhu  merupakan syarat sah dari shalat, shalat bias di kerjakan sesudah seseorang mengerjakan wudhu dengan sempurna dan memenuhi rukun dan syarat wudhu tersebut. Dan wudhu pun mempunyai banyak keutamaan di antaranya berwudhu dengan benar akan menghapus kesalahan dan dosa-dosa kecil yang telah lewat, dan masih banyak lagi keutamaan wudhu. Rasulullah S.A.W bersabda:
. أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلَاةِ
“Humran budak Utsman, telah menceritakan kepadanya, bahwa Utsman bin Affan meminta air untuk berwudlu, kemudian dia membasuh dua tangan sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur serta memasuk dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian ia membasuh muka sebanyak tiga kali dan membasuh tangan kanannya hingga ke siku sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh tangan kirinya sama seperti beliau membasuh tangan kanan, kemudian mengusap kepalanya dan membasuh kaki kanan hingga ke mata kaki sebanyak tiga kali. Selepas itu, ia membasuh kaki kiri, sama seperti membasuh kaki kanannya. Kemudian Utsman berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu seperti cara aku berwudlu.’ Kemudian dia berkata lagi, ‘Aku juga telah mendengar beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil wudlu seperti cara aku berwudlu kemudian dia menunaikan shalat dua rakaat dan tidak berkata-kata antara wudlu dan shalat, maka Allah akan mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu’.” Ibnu Syihab berkata, “Ulama-ulama kami berkata, ‘Wudlu ini adalah wudlu yang paling sempurnya yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan shalat[1]
1.1 Pokok permasalahan
1.      Apa yang arti wudhu itu?
2.      Bagaimana cara wudhu yang sempurna itu? Apa saja yang kita basuh?
3.      Apa keutamaan wudhu?

A.    pengertian
Wudhu secara bahasa: dari asal kata “al wadaa’ah”, yaitu kebersihan dan kesegaran.[2] Dan Secara istilah: Memakai air untuk anggota tertentu (wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki) menghilangkan apa yang menghalangi untuk sholat dan selainnya.
Allah S.W.T berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.[3]
Dan di dalam hadis juga di sebutkan:
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadas sehingga dia berwudhu”.[4]
Dengan kata lain wudhu merupakan syarat sah dari shalat, tanpa adanya wudhu maka shalat kita akan menjadi sia-sia.
B.     Keutamaan wudhu

Wudhu memiliki banya keutamaan di antaranya:
1.      Berwudhu dengan benar dan sempurna akan menghapus akan menghapus kesalahan dan dosa-dosa kecil yang telah lalu.
2.      Meningkatkan derajat pelakunya.
3.      Pada hari kiamat nanti anggota tubuh orang yang berwudhu secara sempurna akan bersinar.




C.     Fardhu wudhu

Fardhu wudhu ada 6, yaitu:

1.      Niat ketika membasuh wajah.niat secara bahasa menyengaja. secara istilah menyegaja sesuatu berserta dengan pekerjaannya. Sehinnga akan mengecualian azam.[5] Niat wajib di barengkan ketika awal membasuh muka.dan juga boleh meletakan niat di tengah namun wajib mengulangi basuhan yang telah terjadi sebelum niat itu.[6] 
2.      Membasuh wajah. Batasan wajah secara vertical dari tempat tumbuhnya rambut sampai pertemuan dua rahang. Secara horizontal 2 telingan.ketika pada wajah terdapat rambut yang tipis atau tebal maka wajib mendatangkan air kepadanya. Batasan tebal dan tipi itu di pandang dari muhotob yang bisa melihat kulit wajah.dan di kecualikan untuk rambut milik wanita atau khunsa baik tebal ataupun tipis hukumnya wajib mendatangkan air itu sama.
3.      Membasuh kedua tangan hingga dua siku. Yang di maksud kedua tanggan menurut fuqoha’ ujung jari sampai siku berbeda pada pembahasan syariqoh dan lainnya. Karena yang di khendaki kedua tanggan dari ujung-ujung jari sampai kedua pegelangan tangan. Wajib membasuh kedua tanggan juga wajib membasuh semua yang ada di tnggan seperti kotoran-kotoran yang ada di bawah kuku, kutil dll.
4.      Membasuh sebagian kepala. pengusapan ini tidak tertentu harus mengunakan tangan tetapi boleh juga mengunakan kain bahkan meletakan tanggan yang basah tanpa mengerakan.
5.      Membasuh kedua kaki hingga kedua mata kaki. Pembahasannya sama dengan kedua tangan dengan artian wajibnya membasuh segala seuatu yang ada di kaki.
6.      Tartib.meletakan segala sesuatu pada tempatnya kewajiban ini berdasarkan hadist

Dan sebagian ulama’ menambahi satu yaitu airnya harus suci.[7]

D.    Sunah wudhu

Sunah wudhu ada 11 perkara:

1.      Membaca bismillah.dan lebih lengkapnya membaca bismillaahir rahmaanir rahiim.sebelum membaca bismillah di sunahkan membaca Ta’awuwudz dan di sunahkan lagi membaca syahadatain, kemudia mambaca “Alhamdu lilaahi ladzi ja’alal maa’a thahuuraan” dan apabila membaca di awal boleh membaca di tengah.
2.      Membasuh kedua telapak tangan sampai dengan pergelangan.
3.      Berkumur. Dan Menghisap air kedalam hidung.dan yang lebih utama keduanya itu di kumpulkan jadi satu.
4.      Membasuh seluruh kepala.cara mengusap yaitu meletakan dua tangan pada bagian kepala depan, dalam posisi dua telunjuk bertemu, dan dua ibu jari pada pelepis kanan dan kiri, lalu memutar kebelakang berporos pada dua ibu jari, sampai tengkuk lalu mengembalikan ke depan.
5.      Mengusap dalam dan luar kedua telinga. dan tidak ada kesunanhan mengusap leher karena tidak ada dasarnya. Caranya ibu jari di garakan untuk merata bagian telinga yang belakang. Kemudian kedua telapak tangan di basahi air terus di pertemukan kedua telinga.
6.      Menyelayelani jengot yang tebal. Untuk orang laki-laki yang memiliki jengot yang tebal harus di tekan-tekan dengan jari pada sela rambut jenggotnya. Dan untuk orang laki-laki, perempuan, atau banci. Wajib menyampaikan air pada sela-sela rambut jenggot.
7.      Menyelayelani jari tangan dan jari kaki
8.      Mendahulukan yang kanan kemudian yang kiri
9.      Sunah tiga kali
10.  Terus menerus. Maksudnya antara dua anggota tidak boleh berhenti lama, tetapi segera di lakukan pencucian satu anggota dari anggota yang lainnya.sambung menyambung dalam wudhu itu di sunahkan bagi selain orang yang dalam keadaan dharurot.

E.     Hal-hal yang bisa membatalkan wudhu

Hal yang bisa membatalkan wudhu itu ada 6 perkara:
1.      Adanya suatu yang keluar dari dua lubang.[8] Seperti kencing atau kotoran ataupun yang tidak biasa seperti batu atau darah.kecuali mani yang keluar dari orang mempunyai wudhu sebab ihtilam dalam posisi duduk yang yang pantatnya tidak berubah dari tempat semula dan pantatnya pada bumi. 
2.      Tidur yang tidak dalam keadaan menetap.  Hal ini di kecualikan pada orang yang duduknya tidak menetap atau dengan posisi berdiri dan tengkurap.
3.      Hilangnya akal atau kesadaran sebab mabuk atau sakit. Ataupun gila dan ayanen juga menjadi sebab batalnya wudhu.
4.      Bertemunya dua kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram,[9] tanpa adanya penghalang. Meskipun sudah menjadi mayit.yang maksud laki-laki atau perempuan disini adalah sudah mencapai batas syahwat.
5.      Menyentuh kemaluan anak adam dengan telapak tanggan yang luar. Baik laki-laki atau perempuan, kecil atau besar, hidup atau mati. Dan juga Menyentuh lubang dubur. [10]menurut qaul imam syafi’I yang baru. [11]























Daftar Pustaka
Muhammad bin Qosim al-Ghozi,. Fathul Qorib Mujib,Surabaya, al-Haromain,2005.
Ibnu Hajar al-Asqolani,. Fathul Baari, Maktabah Darussalam, 1997
Zainudin bin Abdul Aziz,. Fathul Mu’in,Bojonegoro, nadha ar-Rofiqi,2011.
Abi Sujak, Bajuri, bairut,Lebanon, 2005.
Abi Hamid Muhammad, Bidayatul Hidayah, Lebanon, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1111


[1] .Shahih Bukhari 158 dan Shahih Muslim 226

[2]  Ibnu Hajar al-Asqalani, fathul baari (Maktabah Darussalam, 1418 H./1997M)  juz 2
[3] Al-Maidah ayat 6
[4]Bukhari dan muslim, Shahih Bukhari  dan Shahih Muslim (haromain,) 225 135

[5] Mengahirkan pekerjan dari apa yang di kehendaki.
[6] Zainudin bin abdul aziz, fathul mu’in(Nadha al-Arofiqi,..) 5
[7] Berlandaskan bahwa debu di jadikan sebuah rukun dalam tayamum
[8] Qobul dan dubur
[9] Orang yang haram di kawin karena masih ada hubungan tali nasab.
[10] Bertemunya lubang yang menembus
[11] Muhammad bin Qosim al-Ghozi, fathul qorib ( al-Haromain,2005) 6

dua org yang di selamatkan dari ujub

on Kamis, 29 Mei 2014
Oleh : KH. Ahmad Wafi Maimoen

KH. Ahmad Wafi Maimoen
Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.
قطع السائرين له و الواصلين إليه عن رؤية أعمالهم وشهود أحوالهم. أما السائرون فلأنهم لم يتحققوا الصدق


مع الله فيها. وأما الواصلون فلأنه غيّبهم بشهوده عنها.


"Allah mencegah orang yang menuju kepada-Nya dan orang yang telah wushul untuk memandang amalnya masing-masing dan memperhatikan haliyahnya. Hal ini dikarenakan, orang yang (berjalan) menuju kepada-Nya tidak merasa bersungguh-sungguh terhadap Allah dalam amal ibadahnya, dan orang yang telah wushul kepada Allah, diri mereka tenggelam dalam sikap musyahadah dengan Allah, (sehingga) melupakan amal ibadahnya sendiri."

Yang dimaksud dengan orang yang telah wushul kepada Allah adalah orang yang menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dalam usaha membersihkan diri (tazkiyatun nufus), sehingga hilanglah kekebalannya dan lenyap segala macam hawa nafsu. Dan mata batin mereka menjadi terang, hanya melihat Dzat yang menciptakan dan yang menciptakan sebab. Merekalah yang disebut dengan al-washilin. Karena sebelumnya diri mereka tertutup oleh hijab yang berupa hawa nafsu dan kebodohan yang menghalangi mereka dari Allah, dan setelah hijab tersebut hilang dan bebas dari penjara nafsu, mereka bisa sampai kepada Allah tanpa ada halangan apapun.

Adapun orang yang berjalan menuju kepada-Nya, mereka adalah orang yang beriman dan ikhlas dalam beramal, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, dan berusaha sekuat tenaga untuk membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang mengganggunya.

Kedua golongan ini telah dijaga oleh Allah dari mengandalkan amal ibadah dan ketaatannya. Mereka tidak menjadikannya sebagai ukuran dan tameng yang melindungi dirinya dari siksa. Sebaliknya, mereka memandang bahwa amal ibadah mereka yang sedikit itu tidak berharga sama sekali untuk dijadikan sebagai sesuatu yang diandalkan dalam menggapai angan-angannya.

Golongan yang pertama, yaitu orang-orang yang berjalan di jalan Allah, bisa mempunyai haliyah yang demikian, yakni tidak memandang amal ibadahnya dan mengandalkannya, dikarenakan mereka, pada saat perjalanannya dalam membersihkan jiwa, merasa belum maksimal dalam beribadah, serta yakin bahwa amal ibadah dan ketaatan mereka tidak akan selamat dari cipratan penyakit-penyakit hati. Serta merasa bahwa amal ibadah mereka tidak pantas untuk dipersembahkan kepada Allah dan mengharapkan pahala. Seandainya kita mau merenung sejenak, kita akan menemukan kenyataan bahwa amal dan taat yang kita kerjakan selalu dipenuhi dengan segala macam aib dan penyakit serta banyak sekali kekurangannya. Memang, sebagian di antara kita mungkin ada yang berkata, "Saya yakin, jika amal ibadah dan ketaatan saya itu tidak terkena penyakit-penyakit hati yang tercela. Setelah saya memperhatikan, saya berkesimpulan bahwa amal ibadah saya terbebas dari berbagai macam afat dan kecacatan, karena saya mengerjakannya sesuai dengan apa telah yang diperintahkan." Ketahuilah, bahwa ucapan seperti ini justru merupakan aib dan penyakit tersendiri. Penyakit ini dinamakan 'ujub (membanggakan diri sendiri), yang bisa melenyapkan pahala ibadah dengan cepat.

Di antara hikmah diciptakannya manusia dalam keadaan lemah, adalah supaya kelemahannya itu membungkam mulut orang yang memamerkan dan membanggakan bahwa dia telah menunaikan hak-hak Allah dengan sempurna tanpa cacat. Dengan kelemahan yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya itu, dia tidak akan bisa untuk membanggakan dirinya lagi.

Adapun golongan kedua, yaitu golongan yang disebut oleh Imam Ibnu 'Athoillah dengan al-washil ilallah (yang telah sampai kepada Allah). Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa mereka tidak memperhatikan amalan-amalan yang telah mereka kerjakan, tidak membanggakan diri dengan ibadahnya, dikarenakan pikiran dan jiwa mereka telah tenggelam dalam kekhusyukan beribadah. Mereka tidak sempat memikirkan dan memperhatikan keadaan (haliyah) diri mereka. Perlu diketahui, bahwa tak seorang pun dari hamba-hamba Allah yang saleh yang mengetahui bahwa diri mereka itu termasuk golongan al-washil ilallah. Karena memang keadaan manusia itu, setiap bertambahnya kedekatan dan ma'rifat terhadap Allah, bertambah pula kecurigaannya terhadap diri dan nafsunya dan semakin terbukalah semua kekurangan dan kelalaiannya. Jika halnya demikian, bagaimana mungkin mereka para hamba Allah yang saleh dapat merasa bahwa dirinya termasuk golongan ini.

Walaupun mereka tidak mengetahui keadaan diri mereka sendiri, namun hal itu tidak menafikan bahwa mereka tidak bisa dikenali sama sekali. Ada ciri yang bisa digunakan mengetahui hal ini, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ibnu 'Athoillah, mereka tenggelam dalam bermusyahadah dengan Allah yang tidak pernah putus. Sehingga hal ini menyebabkan mereka tidak sempat melihat dan menyaksikan amal ibadah dan kelebihan mereka, apalagi sampai membanggakan dirinya dengan hal-hal tersebut.

Orang-orang golongan ini selalu beramal sesuai dengan ketentuan syariat, memfokuskan segenap kemampuannya untuk membersihkan jiwa dari penyakit-penyakit yang tak terlihat, seperti hasud, sombong, cinta dunia, dan sebagainya. Mereka menyibukkan seluruh waktunya hanya untuk mengingat Allah. Jika keadaannya demikian, bagaimana mungkin mereka mengalihkan perhatiannya dari Allah dengan menghitung-hitung amal ibadah yang dikerjakan, sedangkan mereka menenggelamkan diri mereka dalam sikap musyahadah dengan Allah. Orang yang tidak termasuk dari dua golongan ini, yaitu mereka yang selalu menghitung-hitung amal yang mereka persembahkan kepada Allah, telah melakukan satu macam dari syirik khofi yang paling jelek.

Adapun yang dimaksud dengan ahwal dalam kalimat Ibnu Athoillah di atas adalah keadaan yang dialami oleh seorang salik, berupa kondisi dan perubahan yang menunjukkan akan bersih dan cemerlangnya keadaan diri salik. Seperti rasa khosyyah (takut), khusyu' dalam salat, berdoa dan munajat, bertambahnya rasa pasrah terhadap Allah, rasa tawakkal, rido dengan takdir, dan timbulnya keramat dan keanehan dalam dirinya. Sifat-sifat ini merupakan kondisi emosional yang dialami seorang salik, yang menunjukkan akan bagus dan terpujinya haliyahnya. Dia terkadang lama mengalami kondisi ini, kadang juga singkat. Tapi jika seseorang gembira dengan keadaannya itu dan mementingkannya, serta menganggapnya sebagai tanda bahwa dirinya telah mencapai derajat yang mulia, maka sesungguhnya hal tersebut merupakan kecelakaan dan menariknya dalam kubangan kejelekan.


Penulis: KH. Muhammad Wafi MZ. Lc, MSI