Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemikiran
Orientalis Dalam Kajian Hadis
Dosen Pengampu:
M. Najib Bukhori, M.Th.I.
Oleh:
Syihabuddin Alwy
(2012.01.01.051)
PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015
Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll
Oleh: Syihabuddin Alwy
I. Pendahuluan
Tidak hanya al-Qur`an yang menjadi sasaran para orientalis. Hadis
yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur`an pun tidak lepas dari serangan
para orientalis. Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam baik berupa pembicaraan maupun perbuatan. Para
orientalis meragukan ke otentikan Hadis berasal dari Rasullulah Ṣalla Allah
‘Alaihy wa Sallam.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa
sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama,
Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu
bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan
salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1]
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher,
Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A
Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang
dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2]
Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru
tentang kreteria kesejarahan sebuah Hadis. Pada Dasarnya teori common link
adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber Hadis
melalui prespektif sejarah.[3]
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari
Hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan
ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori
common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.
II. G.H.A Junyboll dan Common
Link
A. Biografi G.H.A Junyboll dan
karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935
adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga
puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan
penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van
koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian
sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional.[4] Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes
Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.[5]
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and
Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga
penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an
hingga 1996.[6]
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland
Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal
di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog
mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi
yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar
Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden,
Belanda.[7]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll
kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik
maupun kontemporer. Semenjak ia menilis
sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan
dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society. Junyboll memutuskan untuk memusatkan
perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.[8]
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di
Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang
menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun,
Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun
2010 dalam usia 75 tahun.[9]
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak
sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana
semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi
Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan
studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the
Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan
studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di
bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”,
“On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah
al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus
on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft,
vol. IV.[10]
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an,
fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources
and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian
Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on
Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic
Jurisprudence.[11]
III. Pemikiran G.H.A Juynboll
dalam Mengkaji Hadis
Hampir seluruh ahli hadis dan umat Islam mempercayai bahwa
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik (al-Kutub al-Sittah)
adalah sahih (otentik). Akan tetapi, pada abad XIX dan abad ke XX, para sarjana
barat, seperti Goldzihe, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas teori
kritik hadis yang dipergunakan oleh para
sarjana muslim dan sekaligus mepertanyakan otensititas hadis nabi yang terdapat
dalam kitab-kitab kanonik. Atas dasar itulah yang membuat mereka termotivasi
untuk merumuskan teori-teori baru yang diharapkan akan betul-betul mampu
menyeleksi dan memisahkan hadis-hadis palsu yang sahih (otentik).[12]
Mereka juga menganggap bahwa metode kritik hadis konvesional
memiliki beberapa kelemahan, yaitu: pertama, metode kritik isnad baru
berkembang pada priode relative sengat lambat.
Kedua, isnad hadis, sekalipun sahih, dapat dipalsukan secara
keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak ada suatu kreteria yang tepat
untuk memeriksa matan hadis.
Pandangan Juynboll terhadap hadis tidak terlepas kepada pemikiran
pendahuluanya seperti: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Yang mana mereka
beranggapan bahwa hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan
sosial Islam selama dua abad pertama, atau sebuah refleksi
kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa
tersebut. Sebuah isnad diklaim sebagai suatu rekayasa dari para ahli fiqh
klasik dan ahli hadis, untuk melegitimasi pendapatnya. Maka, bisa dikatakan
tidak ada satupun hadis, terlebih yang menyangkut persoalan hukum dapat
dipertimbangkan sebagai hadis sahih. Kesimpulanya, sebuah hadis bukanlah
berasal dari nabi, melainkan dari generasi tabiin.[13]
Dalam hal ini Juynboll mengajukan solusi dalam mengkaji hadis
dengan menggunakan metode common link dan analisis isnad. Common link
tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadis konvensional,
tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang
menjadi pijakan metode itu. Jika metode hadis konvensional perpijak pada
kualitas periwayatnya, maka metode common link tidak menekankan pada
kualitas periwaytnya saja, melaikan juga kuantitasnya.
dalam penelitiannya terhadap hadis, Juynboll menggunakan metode
yang dibangun diatas prinsip-perinsip dasar kritik teks historis-filologis.[14] Filologis
adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah
karya-karya sastra atau sumber tertulis dari bangsa tersebut.[15]
Jadi, dalam pendekatan filologi ini mengfokuskan pada kajian pada naskah-naskah
atau sumber-sumber keagamanan untuk mengetahui budaya kerohanian keagamaan
tersebut.
Sedangkan pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti
dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana difahami pada saat pengarang
menulisnya. Selain itu pendekatan historis juga menelusuri hubungan suatu karya
dengan karya yang lain. Sehingga unsur-unsur kesejarahan bisa diketahui.[16]
Dari sini bisa diketahui bahwa pendekatan historis-filologis menitik beratkan
pada naskah, bahasa, makna, pengarang, asal usul atau latar belakang
kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah.
A. Asal Usul dan Perkembangan Hadis
Para ahli hadis sepakat bahwa tidak semua
hadis itu asli. Ada sebagian hadis yang palsu, bukan dari nabi. Akan tetapi setidaknya hadis yang
terdapat dalam koleksi hadis kanonik adalah otentik bersumber dari Nabi.
Sedangkan Juynboll berpendapat bahwa setiap hadis meskipun itu
bersumber dari koleksi hadis, yang kanonik sekalipun itu tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula Nabi. Nabi dan sahabat tidak bertanggungjawab
atas masuknya nama mereka dalam isnad hadis. Adapun yang bertanggungjawab atas
matan dan isnad hadis adalah perawi yang disebut common link dalam
bundelan isnad hadis. Akan tetapi, jarang seorang common link dari
sebuah hadis itu berasal dari kalangan sahabat dan tabiin besar. Akan
tetapi, kebanyakan seorang common link adalah para tabiin kecil dan para
generasi setelahnya.[17]
Jadi, jika seorang sababat dan tabiin tidak pernah menyandang sebagai common
link apalagi seorang Nabi.
Ada
beberapa teori tentang kelahiran isnad. Yang mana dalam beberapa teori tersebut
Juynboll memilih, bahwa perang sipil kedua adalah titik kelahiran dan
perkembangan isnad. Perang sipil ini terjadi pada 63 H. Dengan diproklamirkan
Abdullah bin Zubaīr sebagai khalifah
tandingan di Makkah menantang kekuasaan khalifah Umayyah di Damaskus.
Teori tentang kelahiran isnad ini mungkin
karena sebuah pernyataan dari Ibnu Sirrin (w.110 H) yang termuat dalam muqaddimah
Sahih muslim:
“Dulu, orang-orang bertanya tentang isnad.
Ketika terjadi fitnah (Perang Sipil)[18] mereka berkata, jelaskan nama-nama isnad
kalian jika berasal dari ahlussunah maka hadis kalian di terima, dan jika
berasal dari ahli bida’ maka hadis kalian diabaikan”[19]
Juynboll sendiri tidak memungkiri bahwa sejak
awal para sahabat sudah membicarakan tentang hadis. Akan tetapi, ia tidak
percaya jika pada dekade setelah wafatnya Nabi sudah ada periwayatan secara
formal dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya standarisasi hadis baru dimulai
setelah diperkenalkan isnad sebagai alat untuk membuktikan keaslian hadis pada
abad pertama Hijriyah.[20]
Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat pemisah antara hadis otentik dan
palsu tidak lebih awal dari abad pertama Hijriyah.
Menurut Juynboll, Diantara sekian banyak sahabat hanya Anas bin
Malik (w. 91 H) yang meninggal saat isnad hadis dinyatakan mulai muncul. Akan
tetapi, ketika diteliti dalam berbarbagai koleksi hadis kanonik hanya ada
beberapa hadis yang mengposisikan Anas bin Malik sebagai common link.
Jadi, kebanyakan common link adalah para tabiin kecil dan yang paling
sering adalah para generasi ke dua atau ke tiga setelah Anas bin Malik. Hal ini
juga berlaku untuk untuk para sahabat tanpa terkecuali, baik itu meninggal
setelah meninggalnya nabi dan meninggal delapan puluh tahun kemudian.[21]
Dilain tempat Juynboll mengakui memang ada sahabat yang menjadi
common link dalam bundelan isnad. Terlebih jika melihat penanggalan asal usul
isnad, yakni 60-70an di mana ada sahabat muda yang menyebarka hadis. Hanya saja
ini menurut dia hanya terbatas dalam beberapa kasus tertentu. Jadi, ada
indikasi penyandara hadis kepada nabi adalah palsu, karena hampir semua sahabat
telah meinggal dalam beberapa dekada sebelum isnad menjadi alat penyeleksi
hadis. Adanya nama sahabat dalam isnad yang disandarkan kepada nabi, ini
diselipkan oleh periwayat yang menempati posisi common link.[22]
B. Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link
yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori
yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh
pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian,
elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[23]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai
pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari
teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link.
Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi
mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat
disandarkan pada orang-orang yang
mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh
Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama
dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak
jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun
meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya
memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai
jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu
jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat),
kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin)
yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang
keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat
dipertahankan. Singkatnya, jalur yang
hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single
Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad
hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri
merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan
pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid atau lebih banyak. Dengan kata lain, common link merupakan
sebutan untuk perawi tertua dalam berkas
isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain
berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah
ditemukan common linknya.[24]
Teori common link dan teori hadis
konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis
konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad
hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut
dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang
yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[25]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis
barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya
menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri,
sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara
keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah
kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki
beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik
antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah
dan
Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum
dan
hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.[26]
Selain sebagai awal permulaan isnad common
link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut
digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah
banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang
ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang
mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan
para ahli hadis.[27]
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai
suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu
mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena
itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para
perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang
kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan
terpercaya.[28]
Proses inilah yang dinamakan dengan projection
beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya
berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan
pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi.
Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama
tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common
link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan
isnad-isnadnya.
IV. Kritik Atas Teori Common Link
M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena
common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas
teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan
semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak
berdasar.[29]
Musthafa Azami mencoba menelusuri dan
membuktikan bahwa teori common link tidaklah ilmiah. Teori tersebut
hanyalah sebuah sebuah imajinasi dari Josep Schacht yang kemudian di kembangkan
oleh G.H.A Juynboll. Dalam hal ini
Juynboll mencoba menelusuri isnad dalam naskah Suhaili. Hasilnya, hadis-hadis
yang terdapat dalam naskah tersebut dapat dibagi atas tiga kategori: Pertama,
hadis-hadis yang diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat, yang mana ia memiliki
seorang murid, dan murid itu sendiri juga hanya mempunyai seorang murid yang
meriwayatkan hadis darinya. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok ini
berjumlah 5 hadis (hadis nomor 11, 28, 35, 43, dan 44). Kedua,
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang hanya mempunyai
seorang murid. Akan tetapi, hadis- hadis ini di dukung oleh para sahabat
lainnya. Hadis yang tercakup dalam kategori ini berjumlah 11 hadis, yakni hadis
nomor 1, 2, 13, 14, 29, 31, 34, 37, 38, 39, dan 42. Ketiga, hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang memiliki lebih dari seorang murid.
Pada saat yang sama, hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat lain yang
menyampaikannya kepada sejumlah muridnya. Hadis dalam kelompok ini berjumlah 32 hadis. Yakni nomor 3, 4,, 5,
6, 7, 8, 9, 10, 12, dll. [30]
Menurut Azami, fenomena common link sangat jarang, jika tidak
pernah terjadi dalam periwayatan hadis. Metode common link hanyalah
imajinasi dari Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.[31]
Naskah Suhaili ini berisi 40 hadis.
Sementara M. M Azami meneliti para
perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqat
al-thalithah) termasuk tentang
jumlah dan domisili mereka. Dia membuktikan bahwa pada jenjang ketiga,
jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka
berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama.
Dengan demikian, M. M. Azami berkesimpulan sangat mustahil menurut situasi dan
kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu
sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat
hadis, kemudian oleh generasi-generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu
sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang
rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan).
Kemudian M. M Azami dalam disertasinya mengungkapkan berbagai
fakta-fakta untuk menolak semua pikiran-pikiran atau argumen-argumen oleh para
orientalis. Misalnya, seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Robson,
Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan
lain-lain.
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht adalah yang
paling banyak mendapat kritikan dari Muhammad Mustafa Azami karena kedua tokoh
ini dinilai yang paling banyak berpengaruh dalam hal pembabatan hadis Nabi,
baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendekiawan
Muslim.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan
Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadis
terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah hasil bikinan para ulama abad
kedua dan ketiga hijriyah. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan
teori Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu menisbahkan atau mengaitkan
pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh- tokoh
terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang- orang yang
mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan
pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam sehingga membentuk sanad hadis.
Kemudian Untuk melemahkan teori Schacht ini, M. M. Azami yang melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabawi yang terdapat dalam
naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abū Salih (W 138 H). Abū Shālih (ayah Suhail) adalah murid Abū Huraīrah,
sahabat Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk
dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam . Abū
Hurairah, Abu Salih.
Azami juga mempertanyakan anggapan bahwa
periwayat yang menduduki posisi common link perlu di curigai atau lebih
dari itu, dituduh telah memalsukan hadis. Menurutnya, jika memang ditemumukan
seorang periwayat, seperti al-Zuhri yang menjadi satu-satunya periwayat yang
menyampaikan kepada sejumlah muridnya, akan tetapi kita mengatahui bahwa kethiqahannya
diakui oleh para kritikus hadis maka tak ada alasan jika beliau memalsukan
hadis. Karena kita perlu menyertakan bukti yang kuat ketika menuduh seseorang
telah memalsukan hadis.
Ahli hadis pun mengakui bahwa problem
periwayatan hadis secara sendirian dan implikasinya. Akan tetapi semua itu
bergantung kepada perawinya. Jika perawinya seseorang Thiqah muttaqin,
maka hadisnya bisa dinyatakan sebagai sahih. Sebaliknya, jika seorang perawi
atau orang di bawahnya itu dinyatakan shuqud maka hadisnya dianggap munkar.
Dengan demikian, interprestasi Juynboll yang mengatakan bahwa seorang common
link adalah pemalsu dan pencetus hadis itu tidak dapat diterima. Sebab,
diterima atau ditolaknya sebuah hadis itu tergandung kualitas seorang perawi
bukan kuantitas perawinya sebagaimana kereteria yang ditetapkan Juynboll.
Ditempat lain, Juynboll menunjukan bahwa jika
seorang tidak melihat seluruh isnad dalam hadis, maka ia akan salah dalam mengidentifikasi
seorang common link. Karena bisa jadi ketika seseorang itu mengakatan
bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh al Zuhri seorang dan ia tertuduh sebagai common link.
Padahal, disisi lain jika kita teliti ada jalur lain selain al Zuhri semisal
Hisyam. Maka, al Zuhri tidak lagi sebagai the real common linknya, akan
tetapi orang diatasnya yang bisa dikatakan the real common link. Dan begitu
seterusntya sampai isnad sambung kepada Nabi.[32]
V.
Kesimpulan
Juynboll dengan teori common link
mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang
ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka
meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link.
Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan
legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang
sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan
oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya)
kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang
mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi.
Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan
kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah
abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori
tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll.
Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah
Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan
tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada
20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang
mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi
tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi
tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun
jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu
hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Thiqah.
Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan kethiqahan al-Zuhri.
Daftar Pustaka
Akbar, Arfan, dkk,
“Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian
Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Azami, M. M, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition
of Some Early
Text . Beirut: al-Maktab
al-Islam.
Idri, “Otentitas
Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”. ISLAMICA,
7, 2013.
Junyboll, G.H.A, The
Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Leiden:
E.J. Brill, 1969.
Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies In
Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith. Cambridge University Press, 1983.
Masrur, Ali, Teori
Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi. Yogjakarta:
LKIS, 2007.
Nāisābūrī (al), Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin
Muslim al Qushāirī, Sahīh
Muslim. Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt.
Partanto, Pius A,
dkk, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Putriyanti, dkk,
“Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap
al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2012.
.
[1] Putriyanti,dkk, “Ignaz
Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan
Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012),
112.
[2] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007) 2
[3] Idri, “Otentitas Hidis
Mutawātir Dalam
Teori Common link G.H.A Juynboll”, ISLAMICA, 7, (2013),251.
[6] Ibid., 16.
[7] G.H.A. Junyboll, The
Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt,
(Leiden: E.J. Brill, 1969).
[9] Ibid., 17.
[10] Ibid., 30.
[11] Ibid., 31
[12] Ibid., VI.
[14] Masrur, Teori Common
Link, 115.
[15] Pius A Partanto,dkk, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994) 178.
[16] Arfan Akbar,dkk, “Peran
Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis
Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2012), 146.
[17] Masrur, Teori Common Link,104.
[18]
Sebagian besar ahli hadis di kalangan Islam dari abad pertengahan hingga masa
sekarang sepakat kalau yang dimaksud fitnah dalam pernyataan Ibnu Sirrin adalah
perang sipil pertama. Akan tetapi Schacht berpendapat ini perang sipil ketiga.
Sendangkan J. Robson berpendapat berdasarkan bukti-bukti baru diantara dua
pernyataan tersebut adalah perang sipil kedua.
[19] Abū Husaīn
Muslim bin al Hajāj bin
Muslim al Qushāirī al Nāisābūrī, Sahīh Muslim, (Baīrūt: Dār al
Ufāq al-Jadīdah,tt) 2.
[20] Masrur, Teori Common Link,107-108.
[21]
Ibid., 108-109.
[22]
Ibid., 109.
[23] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies In
Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge
University Press, 1983), 207.
[25] Masrur, Teori Common Link, 78.
[27] Idri,
Otentitas Hidis Mutawātir,
255.
[28] Ibid.,
255.
[29] M. M
Azami, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition
of Some Early Text
(Beirut: al-Maktab
al-Islami), 234.
[30] Masrur, Teori Common
Link, 170-175.
[31]
Ibid., 171.
[32] Masrur, Teori Common Link, 175.
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pemikiran
Orientalis Dalam Kajian Hadis
Dosen Pengampu:
M. Najib Bukhori, M.Th.I.
Oleh:
Syihabuddin Alwy
(2012.01.01.051)
PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015
Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll
Oleh: Syihabuddin Alwy
I. Pendahuluan
Tidak hanya al-Qur`an yang menjadi sasaran para orientalis. Hadis
yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur`an pun tidak lepas dari serangan
para orientalis. Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam baik berupa pembicaraan maupun perbuatan. Para
orientalis meragukan ke otentikan Hadis berasal dari Rasullulah Ṣalla Allah
‘Alaihy wa Sallam.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa
sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama,
Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu
bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan
salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1]
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher,
Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A
Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang
dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2]
Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru
tentang kreteria kesejarahan sebuah Hadis. Pada Dasarnya teori common link
adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber Hadis
melalui prespektif sejarah.[3]
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari
Hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan
ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori
common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.
II. G.H.A Junyboll dan Common
Link
A. Biografi G.H.A Junyboll dan
karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935
adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga
puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan
penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van
koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian
sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional.[4] Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes
Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.[5]
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and
Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga
penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an
hingga 1996.[6]
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland
Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal
di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog
mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi
yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar
Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden,
Belanda.[7]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll
kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik
maupun kontemporer. Semenjak ia menilis
sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan
dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society. Junyboll memutuskan untuk memusatkan
perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.[8]
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di
Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang
menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun,
Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun
2010 dalam usia 75 tahun.[9]
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak
sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana
semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi
Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan
studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the
Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim
Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan
studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di
bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”,
“On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah
al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus
on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft,
vol. IV.[10]
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an,
fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources
and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian
Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on
Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic
Jurisprudence.[11]
III. Pemikiran G.H.A Juynboll
dalam Mengkaji Hadis
Hampir seluruh ahli hadis dan umat Islam mempercayai bahwa
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik (al-Kutub al-Sittah)
adalah sahih (otentik). Akan tetapi, pada abad XIX dan abad ke XX, para sarjana
barat, seperti Goldzihe, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas teori
kritik hadis yang dipergunakan oleh para
sarjana muslim dan sekaligus mepertanyakan otensititas hadis nabi yang terdapat
dalam kitab-kitab kanonik. Atas dasar itulah yang membuat mereka termotivasi
untuk merumuskan teori-teori baru yang diharapkan akan betul-betul mampu
menyeleksi dan memisahkan hadis-hadis palsu yang sahih (otentik).[12]
Mereka juga menganggap bahwa metode kritik hadis konvesional
memiliki beberapa kelemahan, yaitu: pertama, metode kritik isnad baru
berkembang pada priode relative sengat lambat.
Kedua, isnad hadis, sekalipun sahih, dapat dipalsukan secara
keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak ada suatu kreteria yang tepat
untuk memeriksa matan hadis.
Pandangan Juynboll terhadap hadis tidak terlepas kepada pemikiran
pendahuluanya seperti: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Yang mana mereka
beranggapan bahwa hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan
sosial Islam selama dua abad pertama, atau sebuah refleksi
kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa
tersebut. Sebuah isnad diklaim sebagai suatu rekayasa dari para ahli fiqh
klasik dan ahli hadis, untuk melegitimasi pendapatnya. Maka, bisa dikatakan
tidak ada satupun hadis, terlebih yang menyangkut persoalan hukum dapat
dipertimbangkan sebagai hadis sahih. Kesimpulanya, sebuah hadis bukanlah
berasal dari nabi, melainkan dari generasi tabiin.[13]
Dalam hal ini Juynboll mengajukan solusi dalam mengkaji hadis
dengan menggunakan metode common link dan analisis isnad. Common link
tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadis konvensional,
tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang
menjadi pijakan metode itu. Jika metode hadis konvensional perpijak pada
kualitas periwayatnya, maka metode common link tidak menekankan pada
kualitas periwaytnya saja, melaikan juga kuantitasnya.
dalam penelitiannya terhadap hadis, Juynboll menggunakan metode
yang dibangun diatas prinsip-perinsip dasar kritik teks historis-filologis.[14] Filologis
adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah
karya-karya sastra atau sumber tertulis dari bangsa tersebut.[15]
Jadi, dalam pendekatan filologi ini mengfokuskan pada kajian pada naskah-naskah
atau sumber-sumber keagamanan untuk mengetahui budaya kerohanian keagamaan
tersebut.
Sedangkan pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti
dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana difahami pada saat pengarang
menulisnya. Selain itu pendekatan historis juga menelusuri hubungan suatu karya
dengan karya yang lain. Sehingga unsur-unsur kesejarahan bisa diketahui.[16]
Dari sini bisa diketahui bahwa pendekatan historis-filologis menitik beratkan
pada naskah, bahasa, makna, pengarang, asal usul atau latar belakang
kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah.
A. Asal Usul dan Perkembangan Hadis
Para ahli hadis sepakat bahwa tidak semua
hadis itu asli. Ada sebagian hadis yang palsu, bukan dari nabi. Akan tetapi setidaknya hadis yang
terdapat dalam koleksi hadis kanonik adalah otentik bersumber dari Nabi.
Sedangkan Juynboll berpendapat bahwa setiap hadis meskipun itu
bersumber dari koleksi hadis, yang kanonik sekalipun itu tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula Nabi. Nabi dan sahabat tidak bertanggungjawab
atas masuknya nama mereka dalam isnad hadis. Adapun yang bertanggungjawab atas
matan dan isnad hadis adalah perawi yang disebut common link dalam
bundelan isnad hadis. Akan tetapi, jarang seorang common link dari
sebuah hadis itu berasal dari kalangan sahabat dan tabiin besar. Akan
tetapi, kebanyakan seorang common link adalah para tabiin kecil dan para
generasi setelahnya.[17]
Jadi, jika seorang sababat dan tabiin tidak pernah menyandang sebagai common
link apalagi seorang Nabi.
Ada
beberapa teori tentang kelahiran isnad. Yang mana dalam beberapa teori tersebut
Juynboll memilih, bahwa perang sipil kedua adalah titik kelahiran dan
perkembangan isnad. Perang sipil ini terjadi pada 63 H. Dengan diproklamirkan
Abdullah bin Zubaīr sebagai khalifah
tandingan di Makkah menantang kekuasaan khalifah Umayyah di Damaskus.
Teori tentang kelahiran isnad ini mungkin
karena sebuah pernyataan dari Ibnu Sirrin (w.110 H) yang termuat dalam muqaddimah
Sahih muslim:
“Dulu, orang-orang bertanya tentang isnad.
Ketika terjadi fitnah (Perang Sipil)[18] mereka berkata, jelaskan nama-nama isnad
kalian jika berasal dari ahlussunah maka hadis kalian di terima, dan jika
berasal dari ahli bida’ maka hadis kalian diabaikan”[19]
Juynboll sendiri tidak memungkiri bahwa sejak
awal para sahabat sudah membicarakan tentang hadis. Akan tetapi, ia tidak
percaya jika pada dekade setelah wafatnya Nabi sudah ada periwayatan secara
formal dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya standarisasi hadis baru dimulai
setelah diperkenalkan isnad sebagai alat untuk membuktikan keaslian hadis pada
abad pertama Hijriyah.[20]
Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat pemisah antara hadis otentik dan
palsu tidak lebih awal dari abad pertama Hijriyah.
Menurut Juynboll, Diantara sekian banyak sahabat hanya Anas bin
Malik (w. 91 H) yang meninggal saat isnad hadis dinyatakan mulai muncul. Akan
tetapi, ketika diteliti dalam berbarbagai koleksi hadis kanonik hanya ada
beberapa hadis yang mengposisikan Anas bin Malik sebagai common link.
Jadi, kebanyakan common link adalah para tabiin kecil dan yang paling
sering adalah para generasi ke dua atau ke tiga setelah Anas bin Malik. Hal ini
juga berlaku untuk untuk para sahabat tanpa terkecuali, baik itu meninggal
setelah meninggalnya nabi dan meninggal delapan puluh tahun kemudian.[21]
Dilain tempat Juynboll mengakui memang ada sahabat yang menjadi
common link dalam bundelan isnad. Terlebih jika melihat penanggalan asal usul
isnad, yakni 60-70an di mana ada sahabat muda yang menyebarka hadis. Hanya saja
ini menurut dia hanya terbatas dalam beberapa kasus tertentu. Jadi, ada
indikasi penyandara hadis kepada nabi adalah palsu, karena hampir semua sahabat
telah meinggal dalam beberapa dekada sebelum isnad menjadi alat penyeleksi
hadis. Adanya nama sahabat dalam isnad yang disandarkan kepada nabi, ini
diselipkan oleh periwayat yang menempati posisi common link.[22]
B. Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link
yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori
yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh
pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian,
elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[23]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai
pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari
teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link.
Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi
mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat
disandarkan pada orang-orang yang
mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh
Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama
dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak
jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun
meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya
memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai
jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu
jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat),
kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin)
yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang
keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat
dipertahankan. Singkatnya, jalur yang
hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single
Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad
hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri
merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan
pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid atau lebih banyak. Dengan kata lain, common link merupakan
sebutan untuk perawi tertua dalam berkas
isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain
berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah
ditemukan common linknya.[24]
Teori common link dan teori hadis
konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis
konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad
hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut
dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang
yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[25]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis
barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya
menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri,
sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara
keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah
kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki
beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik
antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah
dan
Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum
dan
hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.[26]
Selain sebagai awal permulaan isnad common
link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut
digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah
banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang
ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang
mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan
para ahli hadis.[27]
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai
suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu
mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena
itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para
perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang
kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan
terpercaya.[28]
Proses inilah yang dinamakan dengan projection
beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya
berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan
pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi.
Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama
tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common
link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan
isnad-isnadnya.
IV. Kritik Atas Teori Common Link
M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena
common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas
teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan
semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak
berdasar.[29]
Musthafa Azami mencoba menelusuri dan
membuktikan bahwa teori common link tidaklah ilmiah. Teori tersebut
hanyalah sebuah sebuah imajinasi dari Josep Schacht yang kemudian di kembangkan
oleh G.H.A Juynboll. Dalam hal ini
Juynboll mencoba menelusuri isnad dalam naskah Suhaili. Hasilnya, hadis-hadis
yang terdapat dalam naskah tersebut dapat dibagi atas tiga kategori: Pertama,
hadis-hadis yang diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat, yang mana ia memiliki
seorang murid, dan murid itu sendiri juga hanya mempunyai seorang murid yang
meriwayatkan hadis darinya. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok ini
berjumlah 5 hadis (hadis nomor 11, 28, 35, 43, dan 44). Kedua,
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang hanya mempunyai
seorang murid. Akan tetapi, hadis- hadis ini di dukung oleh para sahabat
lainnya. Hadis yang tercakup dalam kategori ini berjumlah 11 hadis, yakni hadis
nomor 1, 2, 13, 14, 29, 31, 34, 37, 38, 39, dan 42. Ketiga, hadis-hadis
yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang memiliki lebih dari seorang murid.
Pada saat yang sama, hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat lain yang
menyampaikannya kepada sejumlah muridnya. Hadis dalam kelompok ini berjumlah 32 hadis. Yakni nomor 3, 4,, 5,
6, 7, 8, 9, 10, 12, dll. [30]
Menurut Azami, fenomena common link sangat jarang, jika tidak
pernah terjadi dalam periwayatan hadis. Metode common link hanyalah
imajinasi dari Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.[31]
Naskah Suhaili ini berisi 40 hadis.
Sementara M. M Azami meneliti para
perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqat
al-thalithah) termasuk tentang
jumlah dan domisili mereka. Dia membuktikan bahwa pada jenjang ketiga,
jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka
berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama.
Dengan demikian, M. M. Azami berkesimpulan sangat mustahil menurut situasi dan
kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu
sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat
hadis, kemudian oleh generasi-generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu
sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang
rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan).
Kemudian M. M Azami dalam disertasinya mengungkapkan berbagai
fakta-fakta untuk menolak semua pikiran-pikiran atau argumen-argumen oleh para
orientalis. Misalnya, seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Robson,
Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan
lain-lain.
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht adalah yang
paling banyak mendapat kritikan dari Muhammad Mustafa Azami karena kedua tokoh
ini dinilai yang paling banyak berpengaruh dalam hal pembabatan hadis Nabi,
baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendekiawan
Muslim.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan
Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadis
terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah hasil bikinan para ulama abad
kedua dan ketiga hijriyah. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan
teori Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu menisbahkan atau mengaitkan
pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh- tokoh
terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang- orang yang
mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan
pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam sehingga membentuk sanad hadis.
Kemudian Untuk melemahkan teori Schacht ini, M. M. Azami yang melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabawi yang terdapat dalam
naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abū Salih (W 138 H). Abū Shālih (ayah Suhail) adalah murid Abū Huraīrah,
sahabat Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk
dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa
Sallam . Abū
Hurairah, Abu Salih.
Azami juga mempertanyakan anggapan bahwa
periwayat yang menduduki posisi common link perlu di curigai atau lebih
dari itu, dituduh telah memalsukan hadis. Menurutnya, jika memang ditemumukan
seorang periwayat, seperti al-Zuhri yang menjadi satu-satunya periwayat yang
menyampaikan kepada sejumlah muridnya, akan tetapi kita mengatahui bahwa kethiqahannya
diakui oleh para kritikus hadis maka tak ada alasan jika beliau memalsukan
hadis. Karena kita perlu menyertakan bukti yang kuat ketika menuduh seseorang
telah memalsukan hadis.
Ahli hadis pun mengakui bahwa problem
periwayatan hadis secara sendirian dan implikasinya. Akan tetapi semua itu
bergantung kepada perawinya. Jika perawinya seseorang Thiqah muttaqin,
maka hadisnya bisa dinyatakan sebagai sahih. Sebaliknya, jika seorang perawi
atau orang di bawahnya itu dinyatakan shuqud maka hadisnya dianggap munkar.
Dengan demikian, interprestasi Juynboll yang mengatakan bahwa seorang common
link adalah pemalsu dan pencetus hadis itu tidak dapat diterima. Sebab,
diterima atau ditolaknya sebuah hadis itu tergandung kualitas seorang perawi
bukan kuantitas perawinya sebagaimana kereteria yang ditetapkan Juynboll.
Ditempat lain, Juynboll menunjukan bahwa jika
seorang tidak melihat seluruh isnad dalam hadis, maka ia akan salah dalam mengidentifikasi
seorang common link. Karena bisa jadi ketika seseorang itu mengakatan
bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh al Zuhri seorang dan ia tertuduh sebagai common link.
Padahal, disisi lain jika kita teliti ada jalur lain selain al Zuhri semisal
Hisyam. Maka, al Zuhri tidak lagi sebagai the real common linknya, akan
tetapi orang diatasnya yang bisa dikatakan the real common link. Dan begitu
seterusntya sampai isnad sambung kepada Nabi.[32]
V.
Kesimpulan
Juynboll dengan teori common link
mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang
ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka
meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link.
Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan
legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang
sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan
oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya)
kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang
mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi.
Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan
kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah
abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori
tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll.
Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah
Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan
tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada
20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang
mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi
tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi
tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun
jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu
hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Thiqah.
Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan kethiqahan al-Zuhri.
Daftar Pustaka
Akbar, Arfan, dkk,
“Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian
Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Azami, M. M, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition
of Some Early
Text . Beirut: al-Maktab
al-Islam.
Idri, “Otentitas
Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”. ISLAMICA,
7, 2013.
Junyboll, G.H.A, The
Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Leiden:
E.J. Brill, 1969.
Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies In
Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith. Cambridge University Press, 1983.
Masrur, Ali, Teori
Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi. Yogjakarta:
LKIS, 2007.
Nāisābūrī (al), Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin
Muslim al Qushāirī, Sahīh
Muslim. Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt.
Partanto, Pius A,
dkk, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Putriyanti, dkk,
“Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap
al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2012.
.
[1] Putriyanti,dkk, “Ignaz
Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan
Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012),
112.
[2] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007) 2
[3] Idri, “Otentitas Hidis
Mutawātir Dalam
Teori Common link G.H.A Juynboll”, ISLAMICA, 7, (2013),251.
[6] Ibid., 16.
[7] G.H.A. Junyboll, The
Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt,
(Leiden: E.J. Brill, 1969).
[9] Ibid., 17.
[10] Ibid., 30.
[11] Ibid., 31
[12] Ibid., VI.
[14] Masrur, Teori Common
Link, 115.
[15] Pius A Partanto,dkk, Kamus
Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994) 178.
[16] Arfan Akbar,dkk, “Peran
Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis
Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2012), 146.
[17] Masrur, Teori Common Link,104.
[18]
Sebagian besar ahli hadis di kalangan Islam dari abad pertengahan hingga masa
sekarang sepakat kalau yang dimaksud fitnah dalam pernyataan Ibnu Sirrin adalah
perang sipil pertama. Akan tetapi Schacht berpendapat ini perang sipil ketiga.
Sendangkan J. Robson berpendapat berdasarkan bukti-bukti baru diantara dua
pernyataan tersebut adalah perang sipil kedua.
[19] Abū Husaīn
Muslim bin al Hajāj bin
Muslim al Qushāirī al Nāisābūrī, Sahīh Muslim, (Baīrūt: Dār al
Ufāq al-Jadīdah,tt) 2.
[20] Masrur, Teori Common Link,107-108.
[21]
Ibid., 108-109.
[22]
Ibid., 109.
[23] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies In
Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge
University Press, 1983), 207.
[25] Masrur, Teori Common Link, 78.
[27] Idri,
Otentitas Hidis Mutawātir,
255.
[28] Ibid.,
255.
[29] M. M
Azami, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition
of Some Early Text
(Beirut: al-Maktab
al-Islami), 234.
[30] Masrur, Teori Common
Link, 170-175.
[31]
Ibid., 171.
[32] Masrur, Teori Common Link, 175.