tafsir al-Shaukani

on Selasa, 13 Januari 2015


I.     Pendahuluan
Jika hendak ditelisik, diskursus tafsir telah dimulai sejak masa Rasulullah ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. dan berlanjut hingga ke generasi sesudahnya, yakni masa sahabat, masa tâbi’în dan tâbi’î at-tâbi’în. Generasi ini sering disebut dengan generasi ulama salaf. Generasi selanjutnya adalah generasi ulama khalaf, hingga muncul tafsir yang ditulis oleh para mujaddid (pembaharu) pada masa sekarang ini.
Dalam lintasan sejarah, tafsir merupakan sebuah upaya memahami dan menjelaskan kandungan pesan al-Qur`an. Upaya ini telah eksis pada awal Islam yang dimotori oleh Nabi Muhammad ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam, sendiri sebagai penafsir pertama. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagai penerima wahyu, Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam  juga berhak untuk menafsirkan al-Qur`an dan memiliki tanggung jawab dalam menjelaskan makna kandungan al-Qur`an kepada para sahabatnya.[1]
Pada masa-masa berikutnya, tafsir mulai terbentuk menjadi sebuah disiplin ilmu yang otonom. Bahkan, para ulama mulai menyusun kaidah-kaidah yang harus dipahami dan dimengerti oleh orang yang ingin menafsirkan al-Qur`an dengan tujuan mencegah terjadinya penyimpangan dan kesalahan dalam memahami firman Allah  tersebut.
Pada masa-masa setelah itu munculah sebuah inisiatif dari para mufassir untuk membukukan tafsir-tafsir tersebut. Dengan di awal oleh Ibnu Jarir al-Thabari yang melakukan pembukuan tafsir pertama kali. Sampailah pada ulama’ mutaakhirrin yang sangat berbeda gaya penafsiranya dari pada ulama’-ulama’ sebelumnya. Seperti Imam al-shaukani yang ketika melakukan tafsirnya beliau secara terang-terangan mengatkan bahwa tafsirnya ini mengunakan dua segi pendekatan ma’tsur dan ra’yu.
Dalam makalah ini kami ingin sedikit membedah bagaimana metode dan pendekatan tafsir imam al-shaukani dengan tafsir-tafsir yang lainnya. Dan bagaiman bentuk betuk ra’yu dan ma’thur dalam tafsir ini.


II.                Kajian Tafsir Fath al-Qadir
A.    Biografi al-Shaukani
Al-Shaukani memiliki nama lengkap al-Qadhi Muhammad bin Ali bin Abdullah al-Shaukani al-Shana’ani. Beliau adalah seorang imam mujtahid, pembela sunah dan penghancur bid’ah. Dilahirkan pada 1173 H. di Kampung Shaukan dan di besarkan di shana’. al-Shaukani tumbuh dewasa di bawah bimbingan orang tuanya di San’a dengan perasaan belas kasih dan kesucian. Menuntut ilmu dari ulama-ulama besar. Serta bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu pengetahuan. Al-Shaukani Banyak menghafal kitab-kitab nahwu, sorof dan balagah. Juga menguasai ilmu ushul, metodologi penelitian, dan ilmu mantiq, sehingga beliau menjadi seorang imam yang mumpuni. Sepanjang hayatnya,  beliau senantiasa bergelut dengan masalah keilmuan, baik dengan cara membaca maupun mengajar, demikianlah hingga ajal menjemputnya pada 1250 H.[2]
Adapun guru-guru al-Shaukani, yaitu: Abd al-Rahman ibn Qasim al-Madaini, Ahmad ibn Amir al-Hadai, Ahmad ibn Muhammad al-Harazy, Ismail ibn al-Hasan ibn Ahmad ibn al-Hasan ibn al-Imam al-Qasim ibn Muhammad, Abdullah ibn Ismail al-Nahamy, al-Qasim ibn Yahya al-Khaulani dan Abdullah ibn Ismail al-Nahamy, dan lain-lain.
Murid-muridnya, yaitu: anaknya Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Husain ibn Hasan al-Sabiy al-Anshari al-Yamani, Muhammad ibn Hasan al-Syajniy al-Zimari, Abd al-Haq ibn Fadl al-Hindy dan Muhammad ibn Nasr al-Hazimy, dan lain-lain.
al-Shaukani mempunyai sejumlah karya yang bagus dalam berbagai disilin ilmu, diantaranya:
  1. Fath al-Qadir al-Jāmi’ Baina Fanī al-Riwayah wa al-Dhirāyah min Ilmi al-Tafsīr
  2. Nael al-Authar syarh muntaqa al-Akhbar fi al-Hadis al-Syarif,
  3. Adab wa Muntaha al-Arb
  4. Tuhfah al-Zakirin syarh Iddah al-Hashan al-Hushain
  5. Irsyad al-Tsiqat ila Ittifaq al-Syara’i ala al-Tauhid wa al-Ma’ad wa al-Nubuwat, (kitab ini adalah bantahan terhadap orang Yahudi yang bernama Musa ibn Maemun al-Andalusi dalam kitabnya Fi Dhahiri al-Mustanid wa al-Zindiq fi Bathin al-Mu’taqid) dan
  6. Syifa’ al-Alil dan lain-lain.[3]
al-Syaukani adalah faqih dalam Mazhab Syiah Zaidiyah. Mengarang kitab-kitab dan memberikan fatwa. Kemudian ia tinggalkan taqlid dan menjadi seorang mujtahid. al-Syaukani pernah menulis risalah yang bernama ”al-Qaul al-Mufid fi adillah al-Ijtihad wa at-Taqlid” Aqidah al-Syaukani adalah aqidah Salaf. al-Syaukani menyifati sifat-sifat Allah dalam al-Qur’an dan Hadis dengan zhahirnya tanpa takwil. Beliau mengarang kitab tentang sifat-sifat Allah tersebut yang diberi nama ”Iltahaf bimazhab al-Salaf”.[4]

B.      Metode dan Corak dalam Tafsīr al-Shaukani
Semua kitab tafsir tidak akan pernah lepas dengan yang namanya Ma’tur dan Ra’yu, begitupun kitab Fath al-Qadir al-Jāmi’ Baina Fanī al-Riwayah wa al-Dhirāyah min Ilmi al-Tafsīr karya al-Shaukani ini yang mana banyak redeksi menjelaskan bahwa kitab tersebut mengabungkan dua sember tafsir bil Ma’thur dan bil Ra’yu.  Hal ini di perkuat dengan ungkapkan beliau dalam muqodimah kitabnya bahwa biasanya para  mufassir terpecah menjadi dua kelompok; kelompok pertama hanya memfokuskan penafsiran mereka pada masalah riwayat saja. Sedangkan kelompok kedua, momfokuskan pada sisi bahasa Arab dan ilmu alat. Beliau ingin menggabungkan antara dua hal tersebut sehingga bisa lebih sempurna lagi.[5]
 Beliau mengatakan, “Dengan demikian anda mengetahui bahwa harus dilakukan penggabungan antara kedua hal tersebut dan tidak hanya terbatas pada dua cara yang kami sebutkan itu saja. Inilah tujuan saya menulis kitab ini dan cara yang insya Allah, ingin saya tempuh, di samping saya juga akan melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat) antara beberapa penafsiran yang saling bertentangan sebisa mungkin, dan menurut saya tampak jelas kekuatannya. Saya juga akan menjelaskan makna dari sisi bahasa Arab, I’rab (penguraian anak kalimat), balaghah . Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang shahih berasal dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang…”[6]
Beliau juga menjelaskan bahwa tafsir ini memuat ilmu-ilmu yang bermacam-macam. Terpenuhi bagian tahqiqnya serta mengena tujuan dalam mencari kebenaran di dalamnya. Serta terdapat faedah-faedah, kaidah-kaidah, dan lainya. Yang bisa dilahirkan dari kitab-kitab tafsir.
Adapun dalam penyajian tafsirnya,  Imam al-Shaukani dalam penjelasan mengunakan metode Tahlili, sedangkan dalam metode penulisannya beliau memilih menafsiri ayat sesuai dengan runtutnya ayat seperti dalam mushaf.
Kitab tafsir asy-Saukani memiliki keunggulan lainnya, yaitu mengingatkan akan bid’ah-bid’ah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta. Karena sikapnya ini, beliau pernah disakiti dan difitnah dengan beragam tuduhan.
Adapun beberapa poin penting yang perlu kita ketahui dari Imam al-Shaukani dalam tafsirnya di antaranya:
    1. Sikap al-Shaukani terhadap sanad
Beliau telah menyinggung hal itu dalam langkah penulisan di dalam kitab tafsirnya tersebut, “Demikian pula, saya sangat antusias untuk memaparkan penafsiran yang sahih berasal dari Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Ṣallam, para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’i atau ulama-ulama tokoh yang terpandang. Terkadang saya menyebutkan Hadis yang lemah sanadnya, ini karena dua hal; bisa jadi karena ada Hadis lain yang bisa menguatkannya atau karena Hadis itu sesuai dengan makna secara bahasa. Terkadang pula saya menyebutkan Hadis yang dinisbatkan kepada periwayatnya tetapi tanpa menjelaskan kondisi sanadnya sebab saya mendapatkannya seperti itu dari teks asli yang saya nukil seperti halnya yang terjadi pada tafsir Ibn Jarir, al-Qurthubi, Ibn Katsir, as-Suyuthi dan ulama tafsir lainnya. Rasanya sangat jauh (tidak mungkin) mereka mengetahui ada kelemahan pada hadis lalu tidak menjelaskannya. kemudian tidak mesti pula dikatakan terhadap apa yang mereka nukil itu, bahwa mereka telah mengetahui kevalidannya sebab bisa jadi mereka menukil dengan tanpa mengungkapkan kondisi sanadnya juga. Inilah yang menurut perkiraan lebih mungkin terjadi sebab andai kata mereka mengungkapkan hal itu lalu keshahihannya valid menurut mereka, maka tidak mungkin mereka membiarkannya tanpa penjelasan sebagaimana banyak terjadi pada mereka; menjelaskan keshahihan atau ke-hasan-annya. Siapa saja yang mendapatkan teks asal dari apa yang mereka riwayatkan dan nisbatkan dalam tafsir mereka, maka hendaknya ia melihat (merujuk) kepada sanad-sanadnya tersebut agar mendapatkan taufiq atas hal itu, insya Allah….”[7]
Terkadang pula beliau mengomentari riwayat-riwayat yang disinggungnya dan menjelaskan kondisinya.
Tetapi terlepas dari itu, terdapat juga beberapa catatan atas sikap beliau, di antaranya beliau menyebutkan banyak hadits Dha’if (lemah) dan Mawdhu’ (palsu) di dalam beberapa tempat namun tidak mengingatkannya. Hal ini, karena ia banyak sekali menukil dari kitab ad-Durr al-Mantsuur karya Imam as-Suyuthi.[8]
    1. Sikapnya Terhadap Qiraa`aat
Beliau menyinggung masalah Qiraa`aat Sab’ah (tujuh bacaan) dan mengarahkan yang bertentangan darinya. Tafsir yang beliau karang didasarkan pada riwayat Nafi’ al-Madani. Beliau juga menyebutkan qiraa’aat yang janggal.[9]
    1. Sikapnya Terhadap Masalah Bahasa, Nahwu Dan Sya’ir
Beliau sangat interes sekali terhadap masalah bahasa dan mengambil keputusannya dari ahli-ahli bahasa terkemuka seperti al-Mubarrad, Abu ‘Ubaidah, al-Farra’, Ibn Faris dan ulama bahasa lainnya.[10]
Beliau juga menyinggung sisi-sisi I’rab (penguraian anak kalimat) dari sisi Nahwu (Gramatikal), serta banyak sekali berargumentasi dengan mengetengahkan sya’ir-sya’ir.
    1. Sikapnya Terhadap Israa`iliyyaat
Beliau Sedikit sekali dalam menyinggung masalah Israa`iliyyaat, tetapi terkadang beliau menukil sebagian isinya dalam menafsirkan beberapa ayat.[11]

C.    ’Aqidah Imam Al-Shaukani
Imam al-Shaukani memiliki sebuah risalah berjudul, at-Tuhaf Fi Madzaahib as-Salaf. Di dalam kitabnya ini, beliau mencela habis-habisan ahli kalam (kaum teolog) dan cara mereka yang lebih mendahulukan akal ketimbang nash-nash al-Qur’an dan Hadis serta memuji madzhab Salaf. Pujiannya terhadap madzhab Salaf tampak dari penafsirannya terhadap firman Allah, Laisa Kamitslihi Syai-un. Di antara yang beliau katakan, bahwa ayat ini menafikan Mumatsalah (menyerupakan segala sesuatu sehingga menjadi mirip, dalam hal ini terkait dengan dzat Allah) dan menolak tajsiim (menyebut fisik Allah sama dengan fisik manusia) ketika Allah menyifati diri-Nya dengan mendengar dan melihat. ketika menyebut sifat mendengar, melihat, tangan, istiwa’ dan lain-lain yang tercakup di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Bahkan sebaliknya, harus menetapkan sifat-sifat tersebut tetapi tidak dengan cara Mumaatsalah atau  Musyabahah (menyerupai) dengan makhluk. Dengan begitu akan dapat menolak dua sikap negatif; yang berlebihan dan terlalu berlebihan, yaitu berlebihan dalam menetapkan sifat tersebut sehingga menyebabkan timbulnya ‘tajsiim’ dan yang sangat berlebihan dalam menafikannya sehingga menyebabkan timbulnya ‘ta’thil’ (tidak memfungsikan sifat tersebut, membatalkannya). Dari kedua sisi negatif ini, muncullah madzhab Salaf Shalih, yaitu pendapat mereka; menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan Allah atas diri-Nya dengan cara yang hanya Allah yang Maha Tahu sebab Dia lah yang berfirman, “Laisa Kamitslihi Syai-un, Wa Huwas Samii’ul Bashiir
Imam asy-Syaukani juga telah menetapkan sifat istiwa’ berdasarkan madzhab Salaf. Akan tetapi ada juga ayat yang beliau takwilkan tetapi ini lebih disebabkan faktor lain, yaitu mengikuti al-Qurthubi dan ulama lainnya. Di tempat-tempat yang lain dari kitabnya, beliau membantah pendapat az-Zamakhsyari, tokoh mu’tazilah karena bertentangan dengan ahlussunnah wal jama’ah.[12]
D.    Contoh Penafsiran al-Shaukani
الإشارة بقوله ذلك إلى الكتاب المذكور بعده قال ابن جرير : قال ابن عباس : 2 - { ذلك الكتاب } هذا الكتاب وبه قال مجاهد وعكرمة وسعيد بن جبير والسدي ومقاتل وزيد بن أسلم وابن جريج وحكاه البخاري عن أبي عبيدة والعرب قد تستعمل الإشارة إلى البعيد الغائب مكان الإشارة إلى القريب الحاضر كما قال خفاف :
 ( أقول له والرمح يأطر متنه ... تأمل خفافا أنني أنا ذلكا )
Dalam Contoh di atas kita dapat mengetahui bagaimana cara imam al-Shaukani dalam menafsiri ayat ذلك الكتاب beliau menafsiri dengan هذا الكتاب kemudian beliau menjelaskan bahwa tafsir هذا الكتاب itu beliau ambil dari pendapat yang di kelurkan oleh ulama’-ulama’ sebelumnya seperti : Mujāhid, Ikrimah, Said bin Jabir, dan lain-lain.
والخلاف في كونها مكية أو مدنية كالخلاف الذي تقدم في سورة الفلق وأخرج ابن مردويه عن ابن عباس قال : أنزل بمكة { قل أعوذ برب الناس } وأخرج ابن مردويه عن ابن الزبير قال : أنزل بالمدينة { قل أعوذ برب الناس } وقد قدمن افي سورة الفلق ما ورد في سبب نزول هذه السورة وما ورد في فضلها فارجع إليه
Pada contoh yang kedua ini Imam al-Shaukani seperti dalam kebanyakan ayat-ayat yang lain, beliau menjelaskan tentang ayat tempat turunya ayat ini di mana. Pada ini pula terjadi sebuah perbedaan ayat ini turun di Makkah atau di Madinah. Seperti halnya perbedaan antara Ibnu Abbās dan Ibnu Zubair, yang mana Ibnu Abbas mengatakan bahwa surat al-Nās turun di Makkah. Sedangkan Ibnu Zubāir mengatakan bahwa surat al-Nās turun di Madinah.
                 Kemudian, setelah itu beliau juga menjelaskan aspek Nahwu dan Balagahnya. Seperti halnya pada contoh di bawah ini:
 قرأ الجمهور 1 – { قل أعوذ } بالهمزة وقرئ بحذفها ونقل حركتها إلى اللام وقرأ الجمهور بترك الإمالة في { الناس } وقرأ الكسائي بالإمالة ومعنى { رب الناس } : مالك أمرهم ومصلح أحوالهم وإنما قال رب الناس مع أنه رب جميع مخلوقاته للدلالة على شرفهم ولكون الاستعاذة وقعت من شر ما يوسوس في صدورهم
وقوله : 2 – { ملك الناس } عطف بيان جيء به لبيان أن ربيته سبحانه ليست كربية سائر الملاك لما تحت أيديهم من مماليكهم بل بطريق الملك الكامل والسلطان القاهر
III.             Kesimpulan
Dalam Tafsir Fath al-Qadir ini Imam al-Shaukani mengunakan dua sumber penafsiran yaitu Ma’thur dan Ra’yu. Hal ini bisa di buktikan lewat pernyataan beliau dalam muqadimah tafsirnya, bahwa beliau ingin mengabungkan dua sumber penafsiranya, sebab selama ini banyak mufassir yang hanya fokus pada satu sumber penafsiran saja. Beliau juga melakukan Tarjih terhadap beberapa penafsiran yang saling bertentangan. Pembahsan tentang I’rab dan balagah juga tidak bisa di pisahkan dari tafsirnya.
Sedangkan dalam penyajian tafsirnya imam al-Shaukani mengunakan metode Tahlili dalam penjelasanya dan dalam penulisannya beliau memilih manafsiri sesuai dengan urutan mushaf.
Imam al-Shaukani dalam tafsirnya sering meningatkan akan bidah-bidah sesat, aqidah menyimpang dan taqlid buta. Akan tetapi, sangat di sayangkan karena Imam al-Shaukani adalah ulama’ yang bermadzhab Syi’ah Zaidiyah.
Dalam contoh-contoh yang kami sajiakan di atas juga terbukti bahwa Imam al-Shaukani memadukan Ma’thur dan Ra’yu.

Daftar Pustaka
Qaththan(al), Mana’, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, terj, aunur Rafiq el-Mizani.Jakarta timur, Pustaka Al-Kautsar, 2006
Shaukani (al), Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah, Fath al-Qadīr. ttp.tnp,tt
Najdy (al), Abi ‘Abdullah Muhammad al-Mahmud, al-Qawl al-Mukhtasar al-Mubin Manahijul al-Mufassirin. Nasr:Maktabah Dār Imam al-Dhahabi,1990


[1] Mana’ al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, terj, aunur Rafiq el-Mizani,( Jakarta timur, Pustaka Al-Kautsar, 2006)
[2] Ibid.,482
[3] Ibid,.483
[4] Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah al-Shaukani, Fath al-Qadīr, (ttp.tnp,tt)1: 69
[5] Abi ‘Abdullah Muhammad al-Mahmud al-Najdy,al-Qawl al-Mukhtasar al-Mubin Manahijul al-Mufassirin, (Nasr:Maktabah Dār Imam al-Dhahabi,1990) 51
[6] Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdullah al-Shaukani, Fath al-Qadīr, (ttp.tnp,tt) 69
[7] al-Najdy,al-Qawl al-Mukhtasar, 52
[8] Ibid,.52
[9] Ibid,.53
[10] Ibid,.53
[11] Ibid,.53
[12] Ibid,.50-51

Kajian Tafsir Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl

on Sabtu, 03 Januari 2015


I.     Pendahuluan

Setelah sekian banyak kita membahas tentang kitab kitab Tafsir mulai dari zaman Ibnu Jarir Ath-Thabari dengan karyanya yang terkenal Jami’ al-Bayan fi Tafsīr al-Qur`an yang terkenal dengan Tafsir bil Ma`thurnya. Tafsīr al-Thabari ini merupakan tafsir tertua, karena sebelum al-Thabari tidak ditemukan kitab tafsir lain dan bisa dikatakan bahwa al-Thabari orang pertama yang melakukukan pembukuan tafsir. Setelah al-Thabari munculah berbagai macam  kitab-kitab tafsir dengan corak dan karakter yang berbeda-beda. Ada yang bercorak fiqih seperti tafsir al-Jashshash karya Abu Bakar Ahmad bin Ar-Rāzi, Mafātīh al-Ghaib karya Fakhrūddin al-Rāzi yang bercorak Ilmi, dan masih banyak lagi kitab tafsir yang pastinya memiliki corak yang khas.
Pada makalah ini kami ingin membahas tentang sebuah kitab tafsir yang  terkenal dengan sebutan Tafsīr al-Nasafī atau yang bernama lengkap Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. mungkin sekilas masing asing di telinga kita dan banyak orang yang belum mengetahui tentang tafsir ini. Atas dasar itulah kami tergerak ingin sedikit mengkupas tentang Tafsīr al-Nasafī  mulai dari biografi, metode, penafsiran dan semua hal yang ada dalam kitab ini. Dengan tujuan agar menambah wawasan kajian tentang kita-kitab tafsir yang ada. sekaligus mengatahui perkembangan penafsiran pada waktu itu.

II.       Mengupas Tafsīr an-Nasafī

A.    Biografi al-Nasafī

Penulis kitab ini adalah Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī, atau yang lebih di kenal dengan al-Nasafī. Beliau lahir di Nasaf, kota sind yang terletak di antara Jihun dan Samarqand.[1] Beliau adalah ahli tafsir terkenal  dari golongan ulama  Hanafiah, beliau juga  menguasai  berbagai macam disiplin keilmuan diantaranya  fiqih, ushul fiqih, akidah dan tafsir.[2] Sebab Beliau lahir dari kalangan ulama ahli fiqih, ushul fiqih, akidah dan tafsir, sehingga beliau mempunyai peluang dalam membentuk dan mencari potensi yang beliau miliki, oleh karena itulah beliau berhasil merangkum berbagai metodologi penelitian yang ada. Dengan menggunakan rasionalitas ulama kalam, dialektika ahli ushul dan konklusi ahli fiqih. Bedanya, al-Nasafī mempunyai karakter metodologi yang independen dalam karya-karyanya. Dan di samping itu juga beliau kadang mendapatkan pengetahuan ada guru-gurunya seperti ; Syams al-‘Aimmah al-Kurdī, Ahmad bin Muhammad al-‘itabī, dll.[3]
Karena ketekunannya, beliau berhasil mengarang beberapa kitab di antaranya : “Umdah al-Aqāid fī al-kalām,, Syarh Umdah al-Aqāid wa Samāh al-I’timad, Manār al-Anwar Fī ushūl al-Fiqih, al-Kafī fī Syarh al-Wāfī fī al-Fiqh al-Hanafī, Dan Kanz Al-daqāiq Fī fiqih Hanafī. Sebagian besar karyanya telah diterbitkan hingga beliau dikenal sebagai ahli tafsir, faqih, Ahli teologi dan ushul fiqh.[4]
Imam Al-Nasafī tidak begitu berbeda dengan ulama’ kebanyakan, sosoknya yang zuhud, saleh dan taqwa, di samping itu aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, beliau merupakan seorang ahli yang terkenal di masanya dan masa sesudahnya.[5]
Imam An-Nasaī wafat pada tahun 701 H di kota ‘Aidzaj yang terletak di antara Khuzistan dan Asfahan.
B.     Metode PenyajianTafsīr al-Nasafī

Imam Al-nasafī menamakan tafsirnya dengan Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. Tafsir ini termasuk sebagian dari kitab yang dikategorikan sebagai kitab tafsir ilmiah yang cermat, tidak berbelit hingga membosankan dan tidak terlalu ringkas hingga memiliki banyak kekurangan.
 Imam an-Nasafī menjelaskan dalam muqaddimah kitabnya tentang latar belakang penulisan kitab tafsirnya "Saya telah diminta oleh seseorang yang harus dipenuhi permintaannya agar menulis kitab tafsir yang menghimpun berbagai i'rab dan qira'at, ilmu badi, isyarat yang detail yang sarat dengan pandangan ahlusunnah dan terbebas dari kebatilan ahli bid'ah dan kesesatan.[6]
Tafsir ini merupakan kutipan dari Tafsīr Al-Kassyāf dan Tafsīr Al-Baiḍāwy,  dalam segi kebahasaan beliau mengutibnya dari Tafsīr Al-Kassyāf yaitu dalam segi I'rab dan balagah meliputi segi badhi'nya dan ma'aninya.  Akan tetapi, beliau tidak mengikuti apa yang ada dalam Tafsīr al-Kassyāf secara keseluruhan melainkan beliau menghapuskan teologi mu’tazilahnya.  Beliau juga melakuakan kritik terhadap penafsiran al-Zamkhasharī dengan berkata (فإن قيل ....قلت). Penafsiran beliau cenderung pada pemikiran ulama ahlu sunnah, dengan begitu beliau  mempunyai sikap yang tegas dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’an, Khususnya terhadap Tafsīr al-kassyāf. dirinya tidak hanya mengkritis pemikiran mu’tazilah dalam Tafsīr al-kassyāf, namun juga seluruh buku-buku teologis karya al-Zamkhasharī. Sedangkan dari kitab Tafsīr Al-Baiḍāwy lebih cenderung mengambil makna-makna mendalam, pemahamannya, wejangan-wejangannya, dan pembahasannya yang fokus.[7]
Adapun contoh sebagai bukti dari ungkapan di atas adalah :
Menurut pendapat Al-Asy'arī "segala yang dapat dilihat dan menyebabkan dapat dilihat dari sisi keberadaannya.” Dalam Firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ di jelaskan bahwa setiap orang yang beriman dapat melihat Zat Allah Subhânahu wa Ta’âlâ pada hari kiamat.[8] Sebagaimana Firman Allah Ṣubḥānahu wa Ta’ālā   :

وُجُوهٌ  يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إلى رَبّهَا نَاظِرَةٌ .
Artinya :"Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri, kepada tuhan mereka melihat."[9]
Tafsir Imam al-Nasafy pada ayat di atas sebagai berikut:
}وُجُوهٌ } هي وجوه المؤمنين } يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ } حسنة ناعمة { إلى رَبّهَا نَاظِرَةٌ } بلا كيفية ولا جهة ولا ثبوت مسافة . وحمل النظر على الانتظار لأمر ربها أو لثوابه لا يصح لأنه يقال : نظرت فيه أي تفكرت ، ونظرته انتظرته ، ولا يعدى ب «إلى» إلا بمعنى الرؤية مع أنه لا يليق الانتظار في دار القرار { وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ } كالحة شديدة العبوسة وهي وجوه الكفار.[10]
Dalam penafsiran ayat di atas Beliau mengadopsi kedalaman makna, pemahaman yang rasional, pengarahan yang tepat dan kelugasan yang fokus yang di kutip  dalam Tafsīr al-Baiḍāwy, di samping itu beliau juga menyanggah pendapat al-Zamkhasharī dengan memaparkan pendapatnya, akan tetapi Imam al-Nasafi tidak terbelenggu dalam fanatisme aliran mu’tazilah seperti  yang dilakukan al-Zamkhasharī dalam Al-kassyāf. Imam al-Nasafi justru bersebrangan dengan al-Zamakhayarī  Dirinya membantah setiap pendapat mu’tazilah yang menyalahi al-Asy’arī  dengan menggunakan metode al-Zamkhasharī.
Beliau dalam menafsirkan al-Qur’an, dalam masalah penjabaran makna mengunakan metode ijmali yaitu suatu metode penafsiran ayat-ayat al-Qur`an, di mana penjelasan yang dilakukan cukup singkat dan global. Kemudian dalam sistematika penyajianya beliau menggunakan metode penyajian runtut (tahlili) yaitu suatu model penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf al-Qur`an atau mengacu pada urutan turunya wahyu.
Tafsīr al-Nasafī tergolong dalam Tafsīr bil Ra’yi Mahmud, karena kebanyakan dari penjelasan beliau mengunakan Ra’yu.  Meskipun begitu beliau kadang dalam penafsiranya juga mengunakan Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. Meski kadar Ma’thur dalam tafsir  tersebut hanyalah sedikit.
Beliau merupakan ulama’ yang bermazhab Hanafiah.[11] Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapat Imam al-Nasafī dalam menafsirkan ayat وامسحوا بِرُؤُوسِكُم “ : “Imam hanafi mewajibkan membasahi seperempat kepala, atau cukup dengan memasukkan kepala ke dalam air atau menuangkan air di atas kepala.[12] Begitu pula dalam kitab an-Nasafi sebagai berikut :
(وامسحوا بِرُؤُوسِكُمْ)  المراد إلصاق المسح بالرأس ، ومسح بعضه ومستوعبه بالمسح كلاهما ملصق للمسح برأسه
“yang dimaksud dengan membasuh kepala yaitu membasahi seluruh rambut di kepala, sebagian ataukah secara keseluruhan semua kepala dibasahi”.[13]
Sedangkan Imam-Imam yang lain seperti Imam Syafi’i, bahwa yang dimaksud ” وامسحوا بِرُؤُوسِكُم adalah wajib mengusap sebagian kepala, sekalipun sedikit. Tetapi cukup dengan membasahi atau menyiram sebagai penganti dari mengusap. Lain lagi dengan Imam Malik dan Imam Hambali. Imam Malik mewajibkan mengusap semua kepala tanpa telinga, sedangkan Imam Hambali mewajibkan mengusap semua kepala dan kedua telinga.[14]

C.    Isra’iliyat Dalam Tafsīr al-Nasafi

Dalam masalah isra’iliyat beliau sangat sedikit sekali menyebutkan dalam tafsirnya, sehingga ini menjadi nilai positif dalam bagi Tafsīr al-Nasafī. beliau berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menyentuhnya.[15] Selain itu Terbukti pula al-Nasafī  tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang berhubungan dengan keutamaan surah-surah dalam al-Qur’an. Ini di buktikan dengan pernyataan Dr. Muhammad Husain al- al-Dhahabī  dalam kitab al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn beliau mengungkakan bahwa :

ومما نلحظه على هذا التفسير أنه مُقِل جداً فى ذكره للإسرائيليات، وما يذكره من ذلك يمر عليه بدون أن يتعقبه أحياناً، وأحياناً يتعقبه ولا يرتضيه.[16]
“Seperti apa yang kita perhatikan dari tafsir ini, bahwasanya dia menyedikitkan dalam penyebutan isra’iliyat. dan dalam penyebutannya kadang-kadang beliau menyantumkannya, kadang-kadang mengomentarinya.”
Dalam pernyataan tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Ketita Dalam menyebutkan isra’iliyat terkadang beliau tidak memberi komentar dan terkadang beliau mengungkapkan ketidak setujuannya. Beberapa contoh penafsiran yang di tuliskan oleh Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī dalam kitabnya Tafsīr wa al-Mufassirūn di antaranya:
وَهَلْ أَتَىٰكَ نَبَؤُا ٱلْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا ٱلْمِحْرَابَ ﴿٢١ إِذْ دَخَلُوا عَلَىٰ دَاوُۥدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَىٰ بَعْضُنَا عَلَىٰ بَعْضٍ فَٱحْكُم بَيْنَنَا بِٱلْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَٱهْدِنَا إِلَىٰ سَوَاءِ ٱلصِّرَٰطِ ﴿٢٢
" Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, "Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus."[17]
Dr. Muhammad Husain al-Dhahabī menulis bahwa setelah menyebutkan riwayat yang tidak bertentangan dengan kemaksuman Nabi Ḍāwud, Al-Nasafī berkata,"Hikayat bahwa dia (Sulaiman) mengutus Auria kedua kalinya ke peperangan Balqa agar dia (Auria) terbunuh supaya istrinya (Auria) dinikahi olehnya (Sulaiman), kisah tersebut sangat kontradiksi dengan orang yang memiliki sifat kesalihan, terlebih lagi para Nabi”. ‘Ali bin Abi Thalib berkata," Barangsiapa bercerita kepadamu satu hadits tentang Ḍāwud seperti yang diceritakan oleh para ahli kisah dan tukang cerita, hendaklah kamu mencambuknya 160 kali. Karena ia melakukan kebohongan tentang Nabi..."
Adapun contoh lain  Ketika beliau menafsirkan surat Saad ayat 34:
وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَٰنَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِۦ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ ﴿٣٤
" Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat. ", beliau menyebutkan sejumlah riwayat yang tidak kontradiksi dengan kemaksuman sulaiman ‘Alayhi al-Salām. Kemudian al-Nasafī berkata, "Adapun tentang riwayat tentang cincin dan setan serta penyembahan setan di rumah Sulaiman ‘Alayhi al-Salām, merupakan riwayat batil dari orang-orang Yahudi."[18]
Dari kisah-kisah di atas dapat kita ambil kesimpulan bagaimana sikap al-Nasafī  terhadap kisah isra’iliyat. beliau melakukan kritik tentang kisah isra’iliyat tersebut dengan mengungkapkan ketidaksetujuannya melalui cara menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak bertentangan dengan kebenaran orang atau kaum yang diceritakan kemudian setelah itu menyebutkan kisah yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Seperti halnya kisah tentang nabi Daud ‘Alayhi al-Salām di atas, di katakana bahwa nabi Dawūd menyuruh Auria untuk berperang agar dia terbunuh sehingga beliau dapat menikahi istrinya. Jika kita telahah lebih dalam tidak mungkin seorang Nabi berlaku seperti itu, karena bagaimanpun Nabi adalah seseorang yang maksum yang pasti akan selalu  dijaga oleh Allah Ṣubḥānahu wa Ta’ālā .

III.             Kesimpulan

Tafsīr al-Nasafī atau yang lebih terkenal dengan Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl ditulis oleh Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī al-Hanafī. Beliau lahir di Nafas, kota Sind yang terletak diantar Jihun dan Samarqand.  wafat pada tahun 701 H di kota ‘Aidzaj yang terletak di Khuziztan dan asfahan. beliau merupakan ulama’ yang bermazhab Hanafī. Tafsir al-Nasafī merupakan kutipan  dari Tafsīr al-Kassyāf dan Tafsīr al-Baiḍāwy. Akan tetapi beliau menghapus teolgi Mu’tazilah yang terkandung dalam Tafsīr al-Kassyāf. Dari Tafsīr Al-Kassyāf beliau mengutip tentang segi kebahasaan yaitu dari segi I’rab dan balagah. Sedangkan dalam Tafsīr al-Baiḍāwy beliau mengutip segi pemahaman makna-makna yang mendalam, nasihat-nasihat, dan pembahasanya yang fokus.
Metode penafsiran yang  ditempuh oleh al-Nasafī dalam penjabaran makna ayat menggunakan metode ijmali dan dalam sistematika penyajiannya beliau menggunakan penyajian runtut sesuai urutan mushaf al-Qur`an. Tafsir ini sendiri tergolong kedalam Tafsīr bi al-Ma`thur Mahmūd. Tetapi tidak menuntut kemungkinan beliau menggunakn Hadis Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam, meskipun kadarnya hanya sedikit.
Dalam masalah cerita isra’iliyat beliau sedikit sekali menyebutkan dalam tafsirnya, dan ini yang menjadikan nilai plus. Ketika menyebutkannya beliau terkadang tidak berkomentar dan terkadang beliau mengungkapkan ketidak setujuannya. Selain itu al-Nasafī juga tidak menyebutkan Hadis-Hadis palsu yang berhubungan dengan keutamaan surah-surah al-Qur`an.

Daftar Pustaka

Al-Qur`an.
Dhahabī (al), Muhammad Husain, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn. Kairo: Maktabat Wahbah, tth.
Mahmūd, Manī ' Abdul  al-Halīm, Manahijul al-Mufassirin. Kairo:Dār al-Kutub Misri, 1978.
Mughniyah (al), Muhammad Jawād, FIQIH Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk. Jakarta:PT. LENTERA BASRITAMA, 2004.
Nasafī (al), Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd, Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl. Bayrūt:Dār al-Nafāis, 2005.
Shahrasatāny (al), Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Aby Bakar Ahmad, Al Milal Wal Al Nihal. Bayrūt, Dār al-Ma’rifat, 1404.


[1] Kota yang terletak di Ubekistan. Di Samarkand terdapat sejumlah ulama terkenal seperti Muhammad Addi As-Samarkandi, Abu Manshur Maturidi, Abul Hasan Maidani, Ahmad ibn Umar, Abu Bakr As-Samarkandi, Muhammad ibn Mas`ud As-Samarkandi (penyusun Tafsir Al-Iyasyi), Alauddin As-Samarkandi, Najibuddin As-Samarkandi, Abul Qasim Al-Laitsi As-Samarkandi dan Qadi Zadah Ar-Rumi.
[2] Manī ' Abdul  al-Halīm Mahmūd,, Manahijul al-Mufassirin, (Kairo:Darul Kutubul Misri,1978) 215.
[3] Ibid., 215.
[4] Ibid.,215.
[5] Ibid., 216.
[6] Ibid., 217.
[7] Ibid., 217.
[8] Muhammad bin ‘Abdul karīm bin Abī Bakar Ahmad al Shahrasatāny, Al Milal Wal Al Nihal,(Bayrūt, Dār al-Ma’rifat,1404)  1:93
[9] (Al Qiyamah : 22-23)
[10] Abu al-Barkāt bin Ahmad bin Mahmūd al-Nasafī, Madārik at-Tanzīl wa Haqā’iq at-Ta’wīl,(Bayrūt:Dār al-Nafāis,2005) 4:245.
[11] Ibid., 1:1.
[12] Muhammad Jawad Al-Mughniyah, FIQIH Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk,(Jakarta:PT. LENTERA BASRITAMA, 2004) 23
[13] An-Nasafy, Madārik at-Tanzīl, 1:251.
[14]  Al-Mughniyah,Lima Mazhab, terj, Masykur A.B, dkk, 23
[15] Mahmūd, Manahijul, 218
[16] Muhammad Husain al-Dhahabī, al-Tafsīr Wa al-Mufassirūn,(Kairo: Maktabat Wahbah, tt) 1:219
[17] Al-Sād:38:21-22
[18] al-Dhahabī, al-Tafsīr, 1:220