I.
Pendahuluan
Kata taqwa sudah umum didengar dan sangat
familiar baik di dunia keagamaan maupun pendidikan. Dalam al Qur’an kata taqwa
terdapat 224 ayat dengan berbagai bentuk
yang berbeda-beda tergantung konteks ayat yang ada. akan tetapi, inti
dari semua ayat itu bermuara pada beberapa pengertian, yaitu taqwa adalah orang
yang beriman, taqwa adalah takut atau patuh dan taqwa adalah beramal soleh.
Ketiga pengertian
tersebut terdapat dalam surat 2: 182, 3:15-16, 3: 133-134, 2: 224, 2:21, 2:282,
4:9, 2:187, 39: 24, 2:24, 26:16, 13:34, 3:28, 2:180.[1]
Dalam pembahasan ini kami ingin menjelaskan bagaimana
tanda-tanda orang yang bertaqwa menurut konteks Al-Qur’an. Supaya kita lebih
memahami pengertian taqwa yang dikehendaki dalam Al-Qur’an. sebab banyak
sekarang orang-orang yang kadang mengklaim dirinya sebagai orang yang bertaqwa.
Padahal kalau kita amati secara perilaku tidak mencerminkan selayaknya orang
yang bertaqwa.
II.
Bentuk Taqwa dalam Al-Qur’an
A.
Pengertian al-Mutaqȋn
Kata al-mutaqȋn adalah isim
fail dalam bentuk jamak dari ittaqâ–yattaqī (اتَّقَى- يَتَّقِىْ), yang berarti “menjaga diri dari segala
yang membahayakan”. Juga kata taqwa berarti “berjaga-jaga atau melindungi diri
dari sesuatu”. Secara etimologi, kata taqwa mengandung pengertian “menjaga
diri dari segala perbuatan dosa dengan
meninggalkan segala yang dilarang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan
melaksanakan segala yang diperintahkannya”.[2]
Kata ittaqâ berasal
dari kata waqa-yagi-wiqayah yang berarti “menjaga diri menghindari dan
menjahui” yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan
mencelakan, taqwa juga berarti mengetahui dengan akal, memahami dengan hati dan
melakukan dengan perbuatan.[3]
Al-Qur’an menyebut orang
yang bertaqwa dengan muttaqī, jamaknya muttaqīn, yang berarti
orang yang bertaqwa. Jika di atas disebutkan bahwa kata taqwa dalam Al-Qur’an
ada 224 kali, sedangkan dari jumlah sebanyak itu, bisa kita perinci lagi dengan
kata al-muttaqīn yang di dalam
Al-Qur’an disebutkan sebanyak 43 kali. Yaitu pada surat Al-Baqarah, Āli ‘Imrȃn,
al-Mȃidah, al- A’rȃf, at-Taubah, Hūd, al-Hijr, an-Naḥl, Maryam, al-Anbiyȃ’,
an-Nūr, al-Furqȃn, asy-Syu’arȃ’, al-Qaṣaṣ, Ṣȃd, Az-Zumar, az-Zukhruf,
ad-Dukhȃn, Al-Jȃṡiyȃt, at-ṭūr, al-Qalam, al-Ḥȃqqah, al-Mursalȃt dan an-Naba’. [4]
kata ini digunakan Al-Qur’an untuk:
1.
Mengambarkan
bahwa orang yang bertaqwa akan dicintai Allah, dan di akhirat nanti akan diberikan pahala serta tempat yang paling baik yaitu
surga.
2.
Mengambarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang
yang mendapat kemenangan.
3.
Mengambarkan bahwa Allah merupakan pelindung (wali)
bagi orang yang bertaqwa.
4.
Mengambarkan bahwa beberapa kisah yang terjadi
merupakan peringatan dan teladan bagi orang yang bertaqwa.
B.
Tanda-tanda Orang Yang Bertaqwa
Setelah kita mengetahui
pengertian dari taqwa kurang Afdol jika kita tidak membahas tentang
tanda-tanda dari orang yang bertaqwa. Tidak sulit sebenarnya jika kita ingin
mengetahuinya, karena pembahasan ini pada ayat-ayat awal sudah dijelaskan,
seperti dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ sebagai berikut:
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ﴿٤﴾[5]
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(2) ( yaitu) mereka yang
beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki
yang Kami berikan kepada mereka,(3) dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an)
yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan
sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.(4)
Dalam ayat di
atas di jelaskan bahwa tanda-tanda orang yang beriman, yaitu:
1.
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ "beriman kepada
yang Ghaib.
a.
Makna kalimat :
يُؤْمِنُونَ:
banyak sekali pendapat dalam menafsirkan
kalimat tersebut di antaranya pendapat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwasanya yang dimaksud Mu’minūna
adalah percaya. sedangkan Ibnu Abbas memaknainya dengan orang-orang yang
percaya ( membenarkan ). sedangkan Ibnu Jarir Ath-Thabari berpendapat “Bahwa
yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan pada masalah yang ghaib
secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan ada kalanya takut kepada Allah
termasuk kedalam pengertian iman yang intinya ialah membenarkan ucapan dengan
perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada
Allah, kitab-kitabnya, dan Rasul-Rasulnya. dan membenarkan kesaksian yang dibuktikan dengan suatu perbuatan”. Sedangkan Ibnu Katsir menafsiri kamimat iman di sini dengan percaya
secara tulus.[6]
ada pula yang memaknai iman dengan “takut kepada Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ. Sebagiman yang terkandung dalam firmannya:
ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِٱلْغَيْبِ
(Yaitu)
orang-orang yang takut (azab) Tuhannya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya”[7]
kemudian lafad بِٱلْغَيْبِ banyak pendapat tentang penafsiran ayat tersebut ulama’ salaf
sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan lafad bi ghaibi dalam ayat ini.
Tetapi, semua pendapat itu sahih. Karena jika kita simpulkan, maka akan ketemu
suatu penafsiran yang sama.
Abu
Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi’ Ibnu Abbas dari Abu Aliyah tentang
penafsiran الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ. Menurut Abu Aliyah makana dari ayat
tersebut adalah “ mereka beriman kepada Allah, para malaikatnya,
kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, hari kemudian (akhirat), surga dan nerakanya,
berjumpa dengannya; juga beriman kepada kehidupan setelah mati dan hari kebangkitan.”
Semua itu merupakan hal yang ghaib. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Qatadah
Ibnu Di’amah. Kemudian Sofyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim dari
Zurr yang mengatakan
yang dimaksud al ghaib adalah Al Qur’an. sedangkan Ibnu Abbas
berpendapat bahwa makna ghaib ialah hal-hal yang didatangkan oleh Allah.[8]
Kemudian
Ibnu Mas’ud dan sejumlah sahabat Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam berpendapat ghaib ialah hal-hal yang tidak
kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah syurga, neraka, dan semua hal
yang disebutkan di dalam Al Qur’an.
Jika kita amati dengan seksama Semua
hal tersebut saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis
besarnya semua itu kembali kepada makna ghaib yang harus diimani.
Jadi yang di maksud dari ayat di
atas: الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ adalah beriman kepada Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ, para
malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya.
Dalam ayat lain juga di jelaskan
bahwa :
لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيّنَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan
ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada
Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.[9]
2.
وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ ( dan mendirikan
salat)
Ibnu Abbas mengatakan mendirikan salat ialah mereka
mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya).
kemudian Dahhak
menjelaskan yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan mendirikan salat ialah
menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al Qur’an, khusyuk, dan menghadap sepenuh
jiwa dan raganya dalam salat.[10]
Sedang Qatadah mengatakan bahwa mendirikan salat artinya
memelihara waktu-waktunya, wudlu, rukuk, dan sujud, kemudian Muqatil Ibnu
Hayyan menambahi makna tersebut dengan bacaan Al Qur’an, bacaan tasyahud dan
salawat buat Nabi SAW “ didalam salat”.
Jadi, maksud dari ayat di atas adalah
mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan
syarat-syaratnya, terus-menerus, dan mengerjakannya setiap hari sesuai dengan
yang diperintahkan Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ, baik lahir
maupun batin. Yang dimaksud “lahir” adalah mengerjakan salat dengan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul, dan Yang dimaksud dengan “ batin “ ialah
mengerjakan salat dengan hati yang khusyuk, dengan segala ketundukan dan
kepatuhan kepada Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ, dan merasakan
keagungan dan kekuasaan Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ yang
menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagaimana yang dikehendaki oleh
agama.
3.
وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ (dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami anugrahkan
kepada mereka)
Ibnu Abbas
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menafkahkan sebagian rezeki yang kami
anugerahkan kepada mereka ialah mereka menunaikan zakat harta benda dengan
benar.
As-Saddi meriwayatkan
dari Abu Malik, dari Abu Salih, dari Ibnu Abbas, juga Murrah ( Al-Hamadani),
dari Ibnu Mas’ud dan dari sejumlah
sahabat Rasulullah ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam bahwa makna “ menafkahkan sebagian rezeki yang
kami anugerahkan kepada mereka “ ialah “ nafkah seorang lelaki kepada
keluarganya “. Hal ini dipahami sebelum turunnya ayat mengenai zakat.[11]
Ibnu Jarir
At-Thabari memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum,
mencakup zakat dan nafkah. Beliau mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan
paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang bertaqwa ialah
“hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda
mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia
nafkahi dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya yang mempunyai
hubungan kekerabatan”. Karena Allah menyifati dan memuji mereka dengan sebutan
tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para
pelakunya mendapat pujian.
Makna dari ayat ini adalah menyisikan sebagian rezeki yang Allah berikan
kepada kita untuk orang lain baik dari kalangan keluarga ataupun untuk hal yang
berguna bagi orang lain dengan niatan melaksanakan perintah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
4.
وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ( dan mereka yang beriman kepada
(Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah
diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat(
Ibnu Abbas
berpendapat bahwa makna Ayat di atas adalah mereka percaya kepada apa yang
engkau datangkan dari Allah, juga percaya kepada apa yang telah diturunkan
kepada Rasul-Rasul sebelummu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka dan tidak
mengingkari apa yang di datangkan oleh para Rasul itu dari tuhan mereka. Mereka
yakin akan adanya kehidupan di akhirat yaitu percaya akan adanya bangkit,
percaya kepada neraka, hisab, hari kiamat, surga dan mizan. Sesungguhnya hari kemudian dinakamkan
hari akhirat karena terjadi sesudah kehidupan dunia.[12]
Ulama’ ahli
tafsir berbeda pendapat dengan yang di kehendaki oleh ayat ini. Apakah yang di
maksud dalam ayat ini adalah orang orang-orang yang dimaksud dalam ayat
sebelumnya. Yaitu:
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan
salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,
Atau mereka adalah orang-orang lainnya? Menurut
Ibnu Jarir Ath Thabari ada tiga pendapat ulama’ mengenai masalah ini:
Pertama: mereka yang sifatnya disebut pada
ayat pertama, demikian pula dengan mereka yang sifatnya disebutkan dalam ayat
berikutnya, adalah setiap mukmin, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan
Arab, orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab dan selain mereka.
Demikian pendapat Mujahid, Abdul Aliyah, Ar-Rabi’ Ibnu Anas, dan Qathadah.
Kedua: keduanya sama, yaitu orang-orang yang
beriman dari kalangan ahli kitab. Berdasarkan makna ini, berarti huruf wawu adalah
huruf ‘athaf dari satu sifat ke sifat lain. Sebagaimana pengertian yang
ada dalam firmannya:
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, Yang menciptakan, lalu
menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi
petunjuk, dan Yang menumbuhkan rerumputan, lalu dijadikan-Nya (rumput-rumput)
itu kering kehitam-hitaman.[13]
Sebaimana yang di
katakana oleh penyair:
الى الملك القرم وابن الهمّام # وليث الكتيبة في المزدحم
Kepada Raja al-Qarm
yaitu Ibnu Hammun alias singa pasukan dalam perang yang sejati
Dalam ungkapan ini suatu
sifat di ‘athaf kepada sifat lain, sedangkan mansukhnya sama.
Ketiga: mereka yang sifatnya disebutkan pada
ayat pertama adalah orang-orang yang beriman dari kalangan bangsa Arab.
Sedangkan mereka yang disebut dalam ayat kedua, yaitu firmannya:
“dan mereka yang
beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan
(kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan
adanya akhirat”[14]
Adalah orang-orang yang
beriman dari kalangan ahli kitab. Pendapat ini dinukil oleh as-Saddi, dan
sejumlah sahabat Rasulullah ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. Pedapat
inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari lalu beliau memperkuat
pendapatnya dengan dalil firmannya:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَمَن يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْهِمْ خَٰشِعِينَ لِلَّهِ
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah,
dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka,
karena mereka berendah hati kepada Allah.[15]
Hingga akhir ayat.
Dan juga dalil firmannya:
ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِهِۦ هُم بِهِۦ يُؤْمِنُونَ ﴿٥٢﴾ وَإِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ قَالُوٓا۟ ءَامَنَّا بِهِۦٓ إِنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن
رَّبِّنَآ إِنَّا كُنَّا مِن قَبْلِهِۦ مُسْلِمِينَ ﴿٥٣﴾ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُم مَّرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا۟ وَيَدْرَءُونَ بِٱلْحَسَنَةِ
Orang-orang yang telah Kami berikan
kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) kepadanya
(Al-Qur'an). Dan apabila (Al-Qur'an) dibacakan kepada mereka, mereka berkata,
Kami beriman kepadanya, sesungguhnya (Al-Qur'an) itu adalah suatu kebenaran
dari Tuhan kami. Sungguh, sebelumnya kami adalah orang muslim”. Mereka itu
diberi pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Al-Qur'an) disebabkan
kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan
menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka.[16]
Ibnu
Jarir ath Thabari tidak memakai dalil apapun untuk memperkuat pendapatnya.
Melainkan hanya makna kesimpulan saja. Yaitu” pada permulaan surat Al-Baqarah
ini Allah telah menyifati prihal orang-orang mukmin dan orang-orang kafir.
Sebagaiman beliau mengklalifikasikan orang-orang kafir kedalam dua golongan,
yaitu golongan orang kafir dan golongan orang munafik. Beliau juga membagi
orang-orang mukmin menjadi dua golongan, yaitu orang-orang mukmin dari kalangan
arab dan orang-orang mukmin dari kalangan ahli kitab.
Kesimpulan
Tafsir dari ayat di atas adalah beriman kepada kitab-kitab yang telah di
turunkanya (Allah), yaitu beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab ( wahyu )
Taurat, Zabur, Injil, dan ṣaḥἷfah- ṣaḥἷfah yang di
turunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihy wa
Sallam. Meskipun
dalam beriman kepada kitab-kitab selain Al-Qur’an bersifat ijmali (
global ), sedangkan beriman kepada Al-Qur’an harus bersifat tafsili
(terperinci). Beriman kepada kitab-kitab dan ṣaḥἷfah- ṣaḥἷfah tersebut
berarti beriman pula kepada para rasul yang telah di utus Allah Subḥᾱnahu wa
Ta’ᾱlᾱ kepada umat-umat yang terdahulu dengan tidak membedakan antara
seseorang dengan yang lain dari rasul-rasul Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ.[17]
Sedangkan beriman kepada hari akhirat. “ akhirat “ lawan dari “ dunia “.
Akhirat ialah tempat manusia berada setelah dunia ini lenyap. “ beriman akan
adanya akhirat “ ialah benar-benar percaya adanya hidup yang kedua setelah
dunia ini berakir.
Orang-orang
yang mempunyai sifat lima di atas adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Subḥᾱnahu
wa Ta’ᾱlᾱ dan merekalah orang-orang yang akan merasakan hasil iman dan amal
mereka di akhirat nanti, mereka yang memperoleh keridaan Allah dan tempat
tinggal mereka di akhirat ialah surga yang penuh kenikmatan.[18]
III.
Kesimpulan
Takwa adalah
menjaga diri dari segala pebuatan dosa dengan meninggalkan segala sesuatu yang
dilarang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan melaksanakan segala sesuatu yang
diperintahkannya. Seorang dianggap bertakwa apabila dia beriman kepada yang
ghaib yaitu Allah SWT, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar, dan
lain sebagainya. Kemudian dia harus mengerjakan dan menunaikan salat dengan
menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya kemudian mengerjakannya secara
terus-menerus sesuai yang diperintahkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
baik secara lahir maupun batin.
Setelah itu dia
juga harus menginfakkan sebagian rezeki yang dianugerahkan oleh Allah Subhânahu
wa Ta’âlâ kepadanya baik unuk keluarganya maupun orang lain. Kemudian dia
juga harus mengimani kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah Subhânahu wa
Ta’âlâ baik itu Al Qur’an maupun kitab lainnya seperti Taurat, Zabur,
Injil, dan shahifah-shahifah klain yang diurunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi
Muhammad. Yang terakhir harus meyakini akan adanya akhirat yaitu tempat dimana
manusia berada setelah dunia ini hancur.
Jadi apabila ada
seseorang yang mengaku dirinya bertakwa akan tetapi dia tidak memiliki tanda-tanda
sesuai dengan ciri-ciri orang bertakwa diatas, maka perlu kita tanyakan
ketakwaannya.
Daftar
Pustaka
Al -Qur’an.
Damashqi (al), Abi Al Fida`Ismail bin Umar bin Kathir al
Quraishi , Tafsir Al
Qur`an al Azim.Bairut:Dar Ibnu
hazim, 2000.
Fauziah, Nailul.” konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an”, http://derapkakidebu.blogspot.sg/2012/03/konsep-taqwa-dalam-al- quran.html,
(diakses pada Rabu, 03 Desember 2014).
RI, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: CV.DUTA GRAFIKA,2009.
[1]
Nailul Fauziah, konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an, http://derapkakidebu.blogspot.sg/2012/03/konsep-taqwa-dalam-al-quran.html,
diakses pada Rabu, 03 Desember 2014.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,( Jakarta:CV.DUTA
GRAFIKA,2009) 1:33
[3] Fauziah,
, konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an, diakses pada Rabu, 03 Desember 2014
[4] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, 1:33
[5]
Al-Baqarah,2:2-4
[6] Abi Al Fida`Ismail bin Umar bin Kathir al
Quraishi al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al Azim,(Bairut:Dar Ibnu hazim,
2000) 1:84
[7]
Al-Anbiya’ : 21:49
[8] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim,
1:84
[9] Al-Baqarah:2:177
[10] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim,
1:85
[11] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim,
1:87
[13] Al ‘A`la, 87:1-5
[14]
Al Baqarah: 2:4
[15]
‘Ali ‘Imran : 3:199
[16]
Al Qasas :28:52-54
[17] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirny,1:34
[18] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,1:35