Kajian Kitab Jami'ul Ushul Fi Ahadisir Rasul

on Kamis, 12 Juni 2014


Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kegiatan syarah hadis sesungguhnya merupakan salah satu wujud perhatian ulama hadis dalam usahanya melestarikan hadits sebagai sumber hukum Islam. Dan dalam mensyarah kitab-kitab himpunan hadits, kebanyakan para pensyarah mempergunakan sejumlah teknik, metode atau pendekatan interpretasi sesuai dengan kecenderungan dan kapasitas ilmiah yang mereka miliki. Menyarah hadis tidak cukup hanya dengan mengandalkan kitab syarah,akan tetapi diinterkoneksikan pada zaman sekarang. Oleh karena itu kajian-kajian keagamaan (kegiatan syarah hadits), dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan perlu melibatkan disiplin ilmu lain, sebab problem social keagamaan semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber ajaran al-Qur’an dan hadits harus juga berdialog dengan realitas perkembangan zaman. Oleh sebab itu, paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (teks hadis) lebih dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.[1]
 Syarah secara Etimologi berasal dari kata Syarah-Yasyrahu-Syarhan yang memiliki arti menjelaskan, menafsirkan,[2] sedangkan dalam kamus Lisan al-Arab disebutkan bahwa sanya syarah adalah memotong atau mengiris daging dari anggota tubuh atau potongan daging yang ada dalam tulang. Dengan kata lain dapat diartikan menjelaskan,menyingkap dan menafsirkan sesuatu yang tersembunyi (yang dalam) sebagai contoh; si fulan menjelaskan suatu perkara.[3] Dalam hal ini syarah dimaksudkan untuk menafsirkan suatu teks kitab hadits dengan menggunakan kitab syarah.
Secara Terminologi syarah adalah menjelaskan suatu yang tersirat dibalik teks hadits yang masih terlihat umum atau belum bisa difahami secara tekstual. Dalam melakukan studi syarah hadits tentunya memerlukan suatu metode yang dipakai baik metode syarah hadits klasik maupun kontemporer. Dalam hal ini para ulama kontemporer menemukan suatu pemasalahan dalam mensyarah hadits dengan metode klasik, sehingga untuk bisa menjawab problem tersebut diperlukan metode syarah hadis kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks hadits yang dikaji. Pada dasarnya syarah hadits sudah muncul pada zaman Rasulullah SAW. Meski belum secara formal dipakai istilah fiqh al-hadits, fahm al-hadits dan syarhal-hadits dan sebagainya. Pada makalah ini, penulis membahas kitab syarah Hadits Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul karangan Ibnu Atsir Aljazari.
1.2 Rumusan Masalah
1.      Siapa Ibnu Atsir  Aljazari?
2.      Apa karya Ibnu Atsir yang terkenal?
3.      Bagaimana sistematika penulisan kitab Jami’ul ushul fi ahadisi rasul?
4.      Hadist Ibadah apa saja yang di muat Ibnu Atsir dalam kitabnya tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
1.      Mengenal sosok Ibnu Atsir Aljazari?
2.      Mengenalkan karya Ibnu Atsir yang mendunia?
3.      Mengetaihuan sistematika penulisan kitab Jami’ul ushul fi ahadits rasul
4.      Memberi pengetahuan tentang hadits-hadits ibadah?

PEMBAHSAN
A.    BIOGRAFI IBNU ATSIR AL-JAZARI

Al-mubarak bin Muhammad bin muhammad bin abdul karim bin abdul wahid as-saibani al-jazari, lebih dikenal dengan Ibnu Atsir. Atsir adalah gelar kepada orang tuanya yaitu Abi Muhammad bin Abdul Karim.[4] Sejarawan mutaakhirin telah sepakat bahwasanya Ibnu Atsir lahir tahunnya 544, kecuali Ibnu Tagri yang mengatakan kelahiran Ibnu Atsir lahir pada tahun 540 H. Ia dilahirkan di Jazirah Ibn Amr.  sebuah wilayah yang sekarang  menjadi bagian dari Turki di perbatasan antara Turki dan Iraq.  Beliau meninggal pada tahun 606 H. pada umur 62 tahun.
Sejak kecil, beliau sudah aktif dalam dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab jami’ul Ushul Fii Ahaditsir Rasul, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama). Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka, aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala  sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikit pun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia.”
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus ditandu. Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak mengahalangi beliau untuk mewariskan ilmi-ilmiu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang dideritanya. Sehingga ada sebagian muridnya yang membantunya dalam menulis
B.     Guru-guru Ibnu Atsir Aljazari
Ibnu Atsir banyak berguru kepada banyak ulama yang tersebar di berbagai negeri. Diantaranya Abdul Wahab bin Hibatullah bin Abi Habbat al-Baghdadi, wafat tahun 554 H. Gurunya inilah yang membacakan shohih Muslim dengan maushul. Selanjutnya Abi Bakkar Yahya da’dun al-Maghribi al-Qurthubi, Nasihuddin Abi Muhammad said bin Mubarok bin Dahan al-Baghdadi, AbiFadhil Abdullah bin Ahmad at-Tusi, Abdul Munim bin Abdul Wahab al-Harani,Abi Hazam Maki bin Rayyan al-Maksini Dhorir dan Abdul Wahab bin Sukainah.
C.    Murid-Murid Ibnu Atsir
Ibnu Atsir memiliki murid-murid yang banyak. Diantaranya yang terkenal adalah Abul Hassan Ali Bin Youssef Al-Qifthy, yang meninggal pada 646 H, Shehab Qusi Ismail bin Hamed, yang meninggal pada 653 H, Taj al-Din Abdul Mohsen bin Mohammed Sheikh Albajrbaka.
D.    Penilaian Ulama terhadap Ibnu Atsir
Sejarawan mengatakan Ibnu Atsir memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, pikiran ketakwaan serta amal yang bagus. Dia menggabungkan penguasaan Bahasa Arab, Ilmu Quran, Hadits dan Fiqih, selain itu dia juga seorang penyair
Beliau seorang ulama’ Syafi’iyah yang besar. Karyanya yang besar, yang sekarang juga bertebar di Indonesia adalah kitabnya “An -Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar”, yaitu suatu kitab besar 7 jilid, di mana di dalmnya diterangkan hadits-hadits yang sulit artinya. Kitab ini sangat berfaedah bagi ahli-ahli hadits, kerana dapat di gunakan untuk memahami lafadz-lafadz hadits yang sulit.sehingga menjadi mudah untuk di fahami. Kitab ini sendiri  disusun secara alphabet sehingga memudahkan pembaca di dalam mencari lafadz-lafadz yang di anggap Gharib.
Dibandingkan dengan kitab-kitab gharibul hadits yang lain kitabnya ibnu atsir ini merupakan kitab yang terbaik. Karena kitab-kitab yang lain belum tersusun secara alphabet sehingga menjadikan sulit didalam pencarian kata perkata. Imam As-Suyuthi berkomentar , “Kitabnya (Ibnu Atsir)  adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai.”[5] Dalam artian kitab ini merupakan kitab rujukan utama dalam hal Gharibul hadits.
Dan masih banyak lagi karangan beliau yang mendunia diantaranya yaitu :
1.      Jamiul Usul fi Ahaditsir Rasul (Syarah hadits).
2.      Asy-Syafi’i, Syarah Musnad Syafi’i.
3.      Al-Mukhtar fi Manaqibil Akhyar.
4.      Al-Badi’i (NahWu).
5.      An-Insaf (Tafsir).
6.      Dan lain-lain

E.     Manhaj Ibnu Atsir dalam Kitab Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul
Sebelum membahas kitab Jamiul Fi Ahadis Rasul, penulis memaparkan dahulu pengertian Jami’. Secara etimologinya, al-Jami’ artinya “yang menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa kitab al- Jami’ adalah kitab yang menghimpun banyak hal.[6] Karena itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua macam, yaitu:  Pertama, Dilihat dari segi pokok kandungan hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab hadits yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua pembahasan agama. Di antaranya masalah iman ,thaharah, ibadah, mu’amalah, pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain sebagainya. Inilah yangmembedakan antara kitab al- jami’ dan kitab al-Musannaf. Karena hanya disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah mengenai persoalanfikih, sedangkan al- Jami’ lebih umum. Kedua, Dilihat dari segi sumber rujukan hadits-hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab hadits yang telah ada.
Hanya saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya yang pertama yaitu kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadits-hadits dari berbagai sendi ajaran Islam.[7]
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari (194-256 H), kitab tersebut ia beri nama “Al Jami’ Ash Shahih Al Musnad min Haditsi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wassalam wa Sunanihi wa Ayyamihi.”. kitab tersebut dinamakan al- Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.
Begitu juga kitab Jamiul Ushil Fi Ahadis Rasul yang berisi beranekaragam persoalan. Dalam menulis kitab ini, Ibnu Atsir berpegang kepada kitab-kitab yang dipegangi oleh fuqoha' dan muhaddisin, seperti Muwatho', Bukhari,Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai kitab-kitab ini sendiri  lebih dimuliakan keshohihan periwayatannya dari nabi. kemudian Ibnu Atsir mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab tersebut dalam satu karangan.  dan disusun sesuai yang paling dekat mamafaatnya.  dibuka dengan pendahuluan berisi pengenalan metode yang diikuti dalam klasifikasi karangan, dan menyebutkan undang-undang musthalah hadits yang diperlukan untuk mengetahuinya dan ditutup dengan biografi imam enam yang dikumpulkan hadits-hadits dalam bukunya.
Jika dilihat dari manhaj yang dipakai oleh Ibnu Atsir, setidaknya ditemukan delapan manhaj[8]:
1.      Pengarang menyebutkan dalam muqodimahnya bahwa yang pertama kali dilakukanya adalah menghapus sanad, Oleh karena itu ia tidak memunculkan sanad-sanad kecuali nama shabat yang merawikan hadits dari Nabi Muhammad SAW  jika itu khabar, atau nama orang yang meriwayatkannya dari sahabat jika itu atsar. Ini dimaksudkan bukan untuk memalingkan hadits dengan menyebutkan nama seseorang perawi tetapi itu yang dibutuhkan.. sesungguhnya maksudnya adalah untuk menetapkan makna yang dimaksud dalam hadits.[9]
2.      Adapun pada matan hadits, dia tetap pada hadis dari Rasulullah SAW, atau Atsar dari sahabat, dan tidak ditemukan dari perkataan tabiin dan mujtahid usul yang dikumpulkan pada kitabnya, maka itu tidak disebut kecuali sekali-kali.
3.      Ibnu Atsir  berpegang pada hadits-hadits dari Kitab Bukhari muslin atau kitab al-jam'u baina shohihain karangan Imam Abi Abdullah al-Hamidi. Dia  juga menyebutkan kitab tersebut sangat baik dalam penyusunanya . Adapun empat kitab yang lain, beliau memuat dari apa yang dibacanya dan didengarnya, sebagaimana ia berpegang kepada nash yang lainnya.
4.      Ibnu Atsir lebih mengutamakan bukhori dan Muslim dari pada keempat imam yang lain, sebab mereka  lebih banyak  menjaga  apa yang diriwayatkannya. Kecuali jika ditemukan suatu pertanyaan atau penjelasan yang bisa menguatkan periwaytan empat imam yang lain. Maka periwayatan mereka akan di samakan dengan bukhari dan Muslim.
5.      Ibnu atsir dalam penyusunan kitabnya  mengikuti  metode dari ke enam imam tersebut , dengan penyusunan bab perbab. Selain itu Ibnu atsir juga berpegang pada hadits di dalam kitab asalnya. Dan juga menetapkan hadits yang menunjukan kesamaan maknanya dengan bab tersebut.
6.      Jika terdapat hadist yang memiliki makna tersendiri, maka akan diletakkan pada bab yang khusus.  di dalamnya  mencangkup hadist yang berbeda-beda maknanya.
7.      Kemudian Ibnu Atsir juga mengeluarkan nama-nama rawi yang terdapat dalam kitab. Kemudian beliau menyusunnya sesuai urutan Mu’jam. Untuk mempermudah mencari nama rawi dari hadist tersebut.
8.      Jika ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh kebanyakan rawi, maka nama rawi tersebut akan di sebutkan sebelum keenam imam tersebut. Dan jika hanya sebagian dari mereka yang meriwayakan makan akan di beri tanda siapa yang mengeluarkan hadist tersebut.
F.     Sistematikan Penulisan
Di dalam Kitab Jamiul Ushul fi Ahadis Rasul karangan Ibnu Atsir ini terdapat pokok pembahasan yang terdiri dari tiga rukun yaitu : Mabadi' (Pendahuluan), Maqosid (Tujuan) danKhawatim (penutup).
Rukun Pertama yaitu pendahuluan terdiri dari lima bab yaitu:
1.         Ba'is fi amal kitab.
2.         kaifiyah wad'i al-kitab
3.         Fi Bayani Ushul Hadis wa Ahkamuha wa ma yataalaq biha
4.         fi zikri aimatu sunnat - RA - wa asmaihim wa ansabihim wa a'marihim wamaqibihim wa asarihim
5.         Fi zikri asanid al-kitab al-Ushul al-Maduat fi kitabina haza
Rukun kedua berisi maqosid (tujuan) dalam kitab ini. Disusun sesuai huruf hijaiyah, mulai dari hamzah sampai ya’.
.Rukun ketiga khawatim (penutup), terbagi kepada tiga kesimpulan. Yang pertamafi zikrri ahadis, kedua fi zikri asma' wal kunni wal aban' wa alqob wa al-ansab,dan ketiga fi Fahrasat al-kitab wal huruf
G.    Simbol dalam pengungkapan perawi
1.         Shohih Al-Bukhari, dengan kode (خ) karena dinasabkan kepada namanya.
2.         Sahih Muslim dengan kode (م) karena namanya lebih terkenal dari nasab, dan
kunniyah m dari awal namanya.
3.         Muwatta Imam Malik, dilambangkan dengan huruf (ط) karena masyhur dengan Muwatho’
4.         Sunan al-Tirmidzi dengan kode (ت) masyhur dengan nasabnya, dan awalhuruf nasabnya adalah Ta’.
5.         Sunan Abu Dawud dengan kode (د) karena Kunniyah lebih dikenal dari pada nasab dan namanya, dan huruf yang terkenal dengan kunniyahnyayautu huruf dal
6.         Sunan Nasai dengan kode (س) karena nasabnya lebih dikenal dari namanya.

H.    Bagaimana Mentakhrij Hadis dalam Kitab Ini?
Buku hadits ini yang disusun berdasar bab, dan bab tersebut diurutkan berdasar huruf hijaiyah. Untuk itu kita merujuk kepada cara-cara yang disandarkan fuqoha’ dan kembali kepada takhrij yang bisa mempermudah. Contoh hadis
 "من كان يؤمن بالله.....الخز" maka kita temukan dalam satu istinbat fiqh yaitu "الضيفة" ,  kemudia kita rujuk kembali kepada kitab Jamiul Ushul.
I.       Contoh Hadits ibadah
A.    Zakat fitrah

) 1خ م ط ت د س) أبو هريرة - رضي الله عنه - : أنَّ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- قال : «ليس على المسلم صدقةٌ في عَبده ولا فَرَسه».
Dalam Hadits ini di jelaskan bahwasanya tidak ada zakat untuk orang yang memiliki budak dan kuda. Dan kalau kita lihat dengan teliti hadits ini membuang semua sanadnya hanya menyebutkan nama sahabat semata, dan di awal kalimatnya terdapat huruf-huruf yang menjadi tanda dari mana hadits ini diambil. Seperti huruf  م ini menunjukan bahwa hadits ini diambil dari kitab shahih Muslim.
            Kemudian jika ditemukan suatu matan hadits yang berbeda dengan matan hadits yang di atas maka kan di tuliskan setelahnya seperti:
وفي روايةٍ ، قال : «ليس في العبد صدقةٌ إِلا صدقة الفطر» أَخرجه البخاري، ومسلم، وأَخرج الباقون الروايةَ
ولأبي داود أيضا ، أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال : «ليس في الخيل والرقيق زكاة إِلا أَن زكاة الفطر في الرقيق».
وللنسائي أَيضا : «لا زكاة على الرجل المسلم في عبده ، ولا في فرسه».
Sesungguhnya makna dari hadits di atas itu sama dengan hadits yang pertama melainkah matannya berbeda. Hadits yang diriwayatkan dari Imam Bukhori misalnya menjelaskan bahwasanya seorang budak tidak mempunyai kewajiban zakat melainkan zakat fitrah.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud mengatakan tidak adanya zakat kepada kuda dan budak melainkan zakat fitrah untuk budak. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i juga demikian.
) .2خ م ط ت د س) أبو سعيد الخدري - رضي الله عنه - : قال : «كُنَّا نُخْرِج زكاة الفطر صاعا من طعام ، أو صاعا من شعير، أَو صاعا من تمر، أَو صاعا من أَقِطٍ ، أَو صاعا من زبيب» ، زاد في رواية : «فلما جاء معاوية ، وجاءت السَّمْراءُ ، قال : أَرى مُدَّا من هذه يَعْدِلُ مُديَّنِ».
dan hadits yang kedua ini lebih cendrung menjelaskan tentang sesuatu yang bisa di gunakan untuk membayar zakat fitrah. Seperti gandum, kurma, keju, dan perasan anggur.
) .3د) عبد الله بن ثعلبة - أو ثعلبة بن عبد الله بن أبي صعير - رحمه الله- : عن أبيه قال : قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- : «زكاةُ الفطر صاعٌ من بُرٍّ ، أَو قَمحٍ عن كل اثنين ، صغيرٍ أَو كبيرٍ، حُرٍّ ، أو عبد ، ذكر أو أُنثى ، أَما غَنِيُّكم : فيُزَكِّيهِ اللهُ ، وأما فقيرُكم: فَيَرُدُّ الله تعالى عليه أكثر مما أعطى».زاد في رواية : «غَنيٍّ أَو فقير»
 .4(د) عبد الله بن عمر - رضي الله عنهما - : قال : «فرضَ رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم- زكاة الفطر طُهْرَة للصائم من اللَّغْوِ والرَّفَثِ ، وطُعْمَة للمساكين ، من أدَّاها قبل الصلاة فهي زكاةٌ مقبولة ، ومن أدَّاها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات».أخرجه أبو داود
) .5س) قيس بن سعد بن عبادة - رضي الله عنه - : قال : «كنا نصوم عاشوراء ، ونؤدِّي زكاة الفطر ، فلما نزل رمضان ، ونزلت الزكاةُ : لم نُؤمَر به ، ولم نُنْه عنه ، وكنا نفعله». أخرجه النسائي.


B.   Shalat Tasbih
Shalat sunah tasbih merupakan shalat sunah yang diajarkan Rasullulah kepada paman beliau Sayyidina Abbas ibn Abdul Muthalib. [10]
Adapun haditsnya yang diambil dari riwayat Imam Abu Dawud dan Tirmidzi  dengan jalur sanad sampai Abdullah bin Abbas, yang berbunyi:
 .1(د ت) عبد الله بن عباس، وأبو رافع - رضي الله عنهم - : أن النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- قال للعباس بن عبد المطلب : «يا عباسُ ، يا عمَّاهُ ، ألا أُعطيكَ ، ألا أمنَحُكَ ، ألا أُجِيزُكَ ، أَلا أفعلُ بكَ ؟ عشرُ خِصال إِذا أنتَ فعلتَ ذلك غَفَرَ اللهُ لكَ[ص:253] ذَنبَكَ : أَوَّلَهُ وآخِرَهُ ، قديمَه وحديثَه، خطأَه وعمْدَه ، صغيرَه وكبيرَه ، سِرَّه وعلانيتَه ؟ عشرُ خصال: أن تُصلِّي أربع ركعات ، تقرأُ في كلِّ ركعة فاتحةَ الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغتَ من القراءةِ في أوَّلِ ركعة وأنتَ قائم ، قلتَ : سبحانَ الله ، والحمدُ لله ، ولا إِله إِلا الله، واللهُ أكبر - خمسَ عَشْرَةَ مرة - ثم تركعُ فتقولُها وأنتَ راكع عشرا ، ثم تَرفَعُ رأْسك من الركوعِ فتقولها عشرا ، ثم تهوي ساجدا فتقولُها وأنتَ ساجد عشرا ، ثم ترفعُ رأسَكَ من السجود فتقولُها عشرا ، ثم تسجدُ فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأْسك فتقولُها عشرا ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة ، تفعلُ ذلك في أربع ركعات. إن استطعتَ أن تُصَلِّيَها في كلِّ يوم مرة فافعلْ ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ جمعة ، فإن لم تَفْعَل ففي كلِّ شهر مَرَّة ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ سَنَة مَرَّة ، فإِن لم تفعلْ ففي كُلِّ عمرِكَ مَرَّة». أخرجه أبو داود عن ابن عباس.
Dalam hadits ini dijelaskan ada sepuluh perkara yang apabila kita mengerjakannya maka Allah akan mengampuni semua dosa kita. Dosa pada awal dan akhir,  yang telah lampau dan yang baru, dosa kecil dan besar, dan dosa yang tidak namapk maupun yang nampak.
Sepuluh perkara itu adalah:
1.       apabila kamu shalat empat rakaat,
2.      di setiap rakaat membaca Fatihah,
3.      membaca surat,
4.       kemudian ketika selesai membca surat di rakaat pertama posisi masih berdiri kemudian membaca: Subhanallah, Alhamdulilah, Lailahaillallah, dan Allahu akbar lima belas kami,
5.       Kemudian ketika ruku’ sepuluh kali,
6.       Kambali dari ruku’ sepuluh kali,
7.      ketika sujud sepuluh kali,
8.      duduk diantara dua sujud sepuluh kali,
9.       kemudian sujud yang kedua sepuluh kali,  
10.  dan kemudian duduk istirahah ketika hendak berdiri sepuluh kali.
Maka, jumlah keseluruhan dari setiap raka’at adalah tujuh puluh lima. Dan bila dikalikan 4 rakaat maka jumlahnya 300 kali. Shalat ini dinamakan shalat tasbih karena di dalamnya membaca tasbih.
             Cara mengerjakannya sendiri seperti halnya 10 perkara di atas. Adapun niat shalat tasbih sendiri sebagai berikut :
أصّلى سنّة التّسبيح ركعتين لله تعالى
             Shalat Tasbih sendiri sangat dianjurkan sekali untuk dikerjakan, kalau bisa setiap malam hari. Apabila tidak bisa  setiap malam hari maka setiap minggu sekali, apabila tidak bisa lagi maka setiap bulan.sekali.  Apabila satu bulan sekali tidak bisa maka satu tahun sekali. Apabila satu tahun sekali juga tidak bisa maka setidaknya seumur hidup sekali.
             Adapun masih banyak lagi riwayat tentang shalat tasbih melainkan riwayat dari Ibnu Abbas ini yang paling terkenal. Adapun riwayat yang lain sebagai berikut:

عن أبي الجوزاء ، حدَّثني رَجُل كانت له صحبة - يرون أنهُ عبدُالله بنُ عمرو - قال : «ائْتِني غدا أحْبُوكَ ، وأُثِيبُكَ ، وأُعطيكَ ، حتى ظننتُ أنه يُعطيني عطية ، قال: إِذا زال النهارُ فقُمْ فصلِّ أربعَ رَكعات... فذكر نحوه ، قال : ثم ترفع رأسك - يعني : من السجود - وفي نسخة من السجدة الثانية - فاسْتَوِ جالسا ولا تقم حتى تُسبِّحَ عشرا ، وتُهلِّلَ عشرا ، وتحمَدَ عشرا ، وتكبِّر عشرا ، ثم تصنعُ ذلك في الأربع ركعات ، قال : فإنك[ص:254] لو كنت أعظم أهل الأرض ذنبا غُفِرَ لك بذلك ، قلتُ : فإن لم أَستطع أن أُصلِّيَها تلكَ الساعةَ؟ قال: صَلِّهَا من الليل والنهار».
وفي رواية الأنصاري : «أَنَّ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم- قال لجعفر بهذا... الحديث ، فذكر نحوه - قال في السجدة الثانية من الركعة الأولى».
وأخرجه الترمذي عن أبي رافع قال : قال النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- للعباس : «يا عمِّ [أَلا أَصِلُكَ] ألا أحْبُوكَ ، ألا أَنْفَعُكَ؟ قال : بلى يا رسولَ الله ، قال : يا عمِّ صلِّ أربعَ رَكَعَات تقرأُ في كل ركعة بفاتحةِ الكتاب ، وسورة ، فإذا انقضتْ القراءةُ فقل : الله أكبر، والحمد لله، ولا إِله إِلا الله، وسبحانَ الله ، خمسَ عشرة مرة قبلَ أَن تركع... وذكر مثله ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة ، وهي ثلاثمائة في أربع ركعات، فلو كانت ذُنُوبك مثْلَ رمْلِ عالِج غَفَرَهَا اللهُ لك ، قال : يا رسولَ الله ، ومن لم يستطعْ أن يقولها في يوم ؟ قال : إِن لم تستطع أن تقولها في يوم فَقُلْها في جمعة ، فإن لم تستطعْ أن تقولَها في جمعة فقلها في شهر، فلم يزل يقول له حتى قال: فقلها في سنة».[ص:255]



Jika kita teliti maka dapat kita simpulkan bahwasanya at-Tirmidzi, al Ansori, dan Abi Jauza’ meriwayatkan hadits yang sama melainkan matan haditsnya berbeda, akan tetapi maknanya sama.
             Ibnu Atsir dalam kitabnya juga menjelaskan kata-kata yang Gharib. ini sebagimana keahlianya.  dijelaskan di awal bahwa kitabnya Ibnu Atsir tentang gharibul hadits yaitu “An -Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar” merupakan kitab gharibul hadits yang terbaik. Dan menjadi rujukan pertama dalam memahami kata-kata yang gharib. contohnya :

[شَرْحُ الْغَرِيبِ]

أَمْنَحْك المِنْحةُ : العَطيَّةُ.
أُجِيزُكَ : الجائزة: ما يعطى الوافد والقاصد، وأصل الجائزة: أن يُعطِيَ الرجلُ الرجلَ ماء، أو يجيزه ليذهب لوجهه، يقول الرجل إذا ورد ماء لقيِّم الماء : أجزني ماء، أي : أعطني ماء حتى أذهبَ لوجهي، ثم كَثُرَ حتى سموا الغِبطَةَ : جائزة.
أَحْبُوكَ : الحِبَاء : العَطِيَّةُ.

Kesimpulan

Al-mubarak bin Muhammad bin muhammad bin abdul karim bin abdul wahid as-saibani al-jazari, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Atsir. Atsir merupakan suatu gelar yang ditujukan kepada orang tua beliau yaitu Abi Muhammad bin Abdul Karim.
Banyak sekali karya-karya beliau yang mendunia diantranya kitab Jami’ul ushul fi ahadisir rasul kitab ini merupakan kitab Jami’ yaitu kitab yang berisi beraneka ragam persoalan. Dalam menulis kitab ini Ibnu Atsir berpegang pada kitab-kitab yang dipegangi oleh fuqoha' dan muhaddisin, seperti Muwatho', Bukhari,Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai kitab-kitab ini sendiri  lebih dimuliakan keshohihan periwayatannya dari nabi. Dan masih banyak lagi kitab-kitab karya Ibnu Atsir yang mendunia diantaranya:
1.         An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar.
2.         Asy-Syafi’i, Syarah Musnad Syafi’i.
3.         Al-Mukhtar fi Manaqibil Akhyar.
4.         Al-Badi’i (NahWu).
5.         An-Insaf (Tafsir).
6.         Dan lain-lain

          dalam metode penulisan Ibnu Atsir membuang semua sanad hadits. Kemudian dalam penyusunannya Ibnu Atsir mengurutkan berdasarkan alphabet. Kitab ini juga mempunyai tiga pokok pembahasan. Pertama, aitu pendahuluan terdiri dari lima bab yaitu:
1.         Ba'is fi amal kitab.
2.         kaifiyah wad'i al-kitab
3.         Fi Bayani Ushul Hadis wa Ahkamuha wa ma yataalaq biha
4.         fi zikri aimatu sunnat - RA - wa asmaihim wa ansabihim wa a'marihim wamaqibihim wa asarihim
5.         Fi zikri asanid al-kitab al-Ushul al-Maduat fi kitabina haza
Kedua, Rukun kedua berisi maqosid (tujuan) dalam kitab ini. Disusun sesuai huruf hijaiyah, mulai dari hamzah sampai ya’.
Ketiga, khawatim (penutup), terbagi kepada tiga kesimpulan. Yang pertamafi zikrri ahadis, kedua fi zikri asma' wal kunni wal aban' wa alqob wa al-ansab,dan ketiga fi Fahrasat al-kitab wal huruf.
            Dalam kitab ini memuat banyak sekali hadits ibadah diantaranya shalat tasbih, zakat fitrah, wudhu dan lain-lain. Seperti halnya hadits ini, yang menjelaskan tentang ibadah shalat tasbih, mulai dari cara mengerjkannya dan fadilah mengerjakannya.
د ت) عبد الله بن عباس، وأبو رافع - رضي الله عنهم - : أن النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- قال للعباس بن عبد المطلب : «يا عباسُ ، يا عمَّاهُ ، ألا أُعطيكَ ، ألا أمنَحُكَ ، ألا أُجِيزُكَ ، أَلا أفعلُ بكَ ؟ عشرُ خِصال إِذا أنتَ فعلتَ ذلك غَفَرَ اللهُ لكَ[ص:253] ذَنبَكَ : أَوَّلَهُ وآخِرَهُ ، قديمَه وحديثَه، خطأَه وعمْدَه ، صغيرَه وكبيرَه ، سِرَّه وعلانيتَه ؟ عشرُ خصال: أن تُصلِّي أربع ركعات ، تقرأُ في كلِّ ركعة فاتحةَ الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغتَ من القراءةِ في أوَّلِ ركعة وأنتَ قائم ، قلتَ : سبحانَ الله ، والحمدُ لله ، ولا إِله إِلا الله، واللهُ أكبر - خمسَ عَشْرَةَ مرة - ثم تركعُ فتقولُها وأنتَ راكع عشرا ، ثم تَرفَعُ رأْسك من الركوعِ فتقولها عشرا ، ثم تهوي ساجدا فتقولُها وأنتَ ساجد عشرا ، ثم ترفعُ رأسَكَ من السجود فتقولُها عشرا ، ثم تسجدُ فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأْسك فتقولُها عشرا ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة ، تفعلُ ذلك في أربع ركعات. إن استطعتَ أن تُصَلِّيَها في كلِّ يوم مرة فافعلْ ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ جمعة ، فإن لم تَفْعَل ففي كلِّ شهر مَرَّة ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ سَنَة مَرَّة ، فإِن لم تفعلْ ففي كُلِّ عمرِكَ مَرَّة». أخرجه أبو داود عن ابن عباس.


Daftar Pustaka

al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, al-Jami’ al-Sahih al -Musnad min Haditsi Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi , Beirut; Dar Ibn Katsir, 1987
Dzabahi, Siyaru A'lamin Nubala,
Ibnu Mandzur,  Al-Alamah, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Hadis, 2003 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia , Yogyakarta: Pustaka Progressif,2004
Mustaqim, Abdul, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008
Rifa’I, Muhammad, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Semarang: PT. KARYA TOHA PUTRA, 2011
http://www.academia.edu



[1] Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi  (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 1
[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia , (Yogyakarta: Pustaka Progressif,2004), hlm. 756
[3] Al-Alamah Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), hlm. 70
[4] Dzabahi, Siyaru A'lamin Nubala, jld 21, h. 388
[5] http://kisahmuslim.com/ibnu-atsir/ (di akses pada 12  mei 2014)
[7] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih al -Musnad min Haditsi Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi , (Beirut; Dar Ibn Katsir, 1987), h. 76
[8] Ibnu Atsir,Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul, (Maktabah Tsamilah.) h, j
[9].Ibnu Atsir, Ibid, h, j


[10]  Muhammad Rifa’i. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, (Semarang: PT. KARYA TOHA PUTRA, 2011) hlm  97