Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kegiatan syarah hadis sesungguhnya merupakan salah satu wujud
perhatian ulama hadis dalam usahanya melestarikan hadits sebagai sumber hukum Islam.
Dan dalam mensyarah kitab-kitab himpunan hadits, kebanyakan para pensyarah
mempergunakan sejumlah teknik, metode atau pendekatan interpretasi sesuai
dengan kecenderungan dan kapasitas ilmiah yang mereka miliki. Menyarah hadis
tidak cukup hanya dengan mengandalkan kitab syarah,akan tetapi
diinterkoneksikan pada zaman sekarang. Oleh karena itu kajian-kajian keagamaan
(kegiatan syarah hadits), dewasa ini sesungguhnya tidak bisa berdiri sendiri,
melainkan perlu melibatkan disiplin ilmu lain, sebab problem social keagamaan
semakin kompleks, sementara Islam yang bersumber ajaran al-Qur’an dan hadits
harus juga berdialog dengan realitas perkembangan zaman. Oleh sebab itu,
paradigma interkoneksi keilmuan menjadi sebuah keniscayaan sejarah, sehingga
analisis dan kesimpulan yang diambil dari teks keagamaan (teks hadis) lebih
dialektis dan komprehensif, serta akomodatif terhadap perkembangan masyarakat.[1]
Syarah secara Etimologi
berasal dari kata Syarah-Yasyrahu-Syarhan yang memiliki arti menjelaskan,
menafsirkan,[2]
sedangkan dalam kamus Lisan al-Arab disebutkan bahwa sanya syarah adalah
memotong atau mengiris daging dari anggota tubuh atau potongan daging yang ada
dalam tulang. Dengan kata lain dapat diartikan menjelaskan,menyingkap dan
menafsirkan sesuatu yang tersembunyi (yang dalam) sebagai contoh; si fulan
menjelaskan suatu perkara.[3] Dalam
hal ini syarah dimaksudkan untuk menafsirkan suatu teks kitab hadits dengan
menggunakan kitab syarah.
Secara Terminologi syarah adalah menjelaskan suatu yang tersirat
dibalik teks hadits yang masih terlihat umum atau belum bisa difahami secara tekstual.
Dalam melakukan studi syarah hadits tentunya memerlukan suatu metode yang dipakai
baik metode syarah hadits klasik maupun kontemporer. Dalam hal ini para ulama
kontemporer menemukan suatu pemasalahan dalam mensyarah hadits dengan metode
klasik, sehingga untuk bisa menjawab problem tersebut diperlukan metode syarah
hadis kontemporer dengan menggunakan berbagai pendekatan yang sesuai dengan
konteks hadits yang dikaji. Pada dasarnya syarah hadits sudah muncul pada zaman
Rasulullah SAW. Meski belum secara formal dipakai istilah fiqh al-hadits, fahm
al-hadits dan syarhal-hadits dan sebagainya. Pada makalah ini, penulis membahas
kitab syarah Hadits Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul karangan Ibnu Atsir Aljazari.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Siapa
Ibnu Atsir Aljazari?
2.
Apa
karya Ibnu Atsir yang terkenal?
3.
Bagaimana
sistematika penulisan kitab Jami’ul ushul fi ahadisi rasul?
4.
Hadist
Ibadah apa saja yang di muat Ibnu Atsir dalam kitabnya tersebut?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.
Mengenal
sosok Ibnu Atsir Aljazari?
2.
Mengenalkan
karya Ibnu Atsir yang mendunia?
3.
Mengetaihuan
sistematika penulisan kitab Jami’ul ushul fi ahadits rasul
4.
Memberi
pengetahuan tentang hadits-hadits ibadah?
PEMBAHSAN
A.
BIOGRAFI IBNU ATSIR AL-JAZARI
Al-mubarak bin Muhammad bin muhammad bin abdul karim bin abdul wahid
as-saibani al-jazari, lebih dikenal dengan Ibnu Atsir. Atsir adalah gelar
kepada orang tuanya yaitu Abi Muhammad bin Abdul Karim.[4] Sejarawan
mutaakhirin telah sepakat bahwasanya Ibnu Atsir lahir tahunnya 544, kecuali
Ibnu Tagri yang mengatakan kelahiran Ibnu Atsir lahir pada tahun 540 H. Ia
dilahirkan di Jazirah Ibn Amr. sebuah
wilayah yang sekarang menjadi bagian
dari Turki di perbatasan antara Turki dan Iraq. Beliau meninggal pada tahun 606 H. pada umur
62 tahun.
Sejak kecil, beliau sudah aktif dalam dunia ilmu dengan penuh
semangat. Ini sesuai dengan pengakuan beliau dalam mukadimah kitab jami’ul
Ushul Fii Ahaditsir Rasul, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia
belia, aku sangat tertarik untuk thalabul ilmi (belajar ilmu agama), duduk
bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin untuk menyerupai mereka (para Ulama).
Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku lantaran
menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka, aku mengerahkan
seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan
taufik Allah Subhanahu wa Ta’ala
sehingga terbentuk pada diriku kemampuan menguasai sisi-sisi yang
tersembunyi dan mengetahui segi-segi yang sulit. Tidak kusisakan upayaku
sedikit pun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku taufik untuk dapat
mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia.”
Dalam sejarah kehidupan yang harus dilalui, diceritakan bahwa
beliau mengidap suatu penyakit yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota
geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis
sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus ditandu.
Karena itu, beliau lebih sering berada di dalam rumahnya.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu
tidak mengahalangi beliau untuk mewariskan ilmi-ilmiu bagi umat. Bahkan
ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak
berdaya menghadapi penyakit yang dideritanya. Sehingga ada sebagian muridnya
yang membantunya dalam menulis
B.
Guru-guru Ibnu Atsir Aljazari
Ibnu Atsir banyak berguru kepada banyak ulama yang tersebar di
berbagai negeri. Diantaranya Abdul Wahab bin Hibatullah bin Abi Habbat
al-Baghdadi, wafat tahun 554 H. Gurunya inilah yang membacakan shohih Muslim
dengan maushul. Selanjutnya Abi Bakkar Yahya da’dun al-Maghribi al-Qurthubi,
Nasihuddin Abi Muhammad said bin Mubarok bin Dahan al-Baghdadi, AbiFadhil
Abdullah bin Ahmad at-Tusi, Abdul Munim bin Abdul Wahab al-Harani,Abi Hazam
Maki bin Rayyan al-Maksini Dhorir dan Abdul Wahab bin Sukainah.
C.
Murid-Murid Ibnu Atsir
Ibnu Atsir memiliki murid-murid yang banyak. Diantaranya yang
terkenal adalah Abul Hassan Ali Bin Youssef Al-Qifthy, yang meninggal pada 646
H, Shehab Qusi Ismail bin Hamed, yang meninggal pada 653 H, Taj al-Din Abdul
Mohsen bin Mohammed Sheikh Albajrbaka.
D.
Penilaian Ulama terhadap Ibnu Atsir
Sejarawan mengatakan Ibnu Atsir memiliki ilmu pengetahuan yang
tinggi, pikiran ketakwaan serta amal yang bagus. Dia menggabungkan penguasaan Bahasa
Arab, Ilmu Quran, Hadits dan Fiqih, selain itu dia juga seorang penyair
Beliau seorang ulama’ Syafi’iyah yang besar. Karyanya yang besar,
yang sekarang juga bertebar di Indonesia adalah kitabnya “An -Nihayah fi
Gharibil Hadits wal Atsar”, yaitu suatu kitab besar 7 jilid, di mana di dalmnya
diterangkan hadits-hadits yang sulit artinya. Kitab ini sangat berfaedah bagi
ahli-ahli hadits, kerana dapat di gunakan untuk memahami lafadz-lafadz hadits
yang sulit.sehingga menjadi mudah untuk di fahami. Kitab ini sendiri disusun secara alphabet sehingga memudahkan
pembaca di dalam mencari lafadz-lafadz yang di anggap Gharib.
Dibandingkan dengan kitab-kitab gharibul hadits yang lain kitabnya
ibnu atsir ini merupakan kitab yang terbaik. Karena kitab-kitab yang lain belum
tersusun secara alphabet sehingga menjadikan sulit didalam pencarian kata
perkata. Imam As-Suyuthi berkomentar , “Kitabnya (Ibnu Atsir) adalah kitab terbaik dalam bahasan gharibul
hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai.”[5]
Dalam artian kitab ini merupakan kitab rujukan utama dalam hal Gharibul hadits.
Dan masih banyak lagi karangan beliau yang mendunia diantaranya
yaitu :
1.
Jamiul
Usul fi Ahaditsir Rasul (Syarah hadits).
2.
Asy-Syafi’i,
Syarah Musnad Syafi’i.
3.
Al-Mukhtar
fi Manaqibil Akhyar.
4.
Al-Badi’i
(NahWu).
5.
An-Insaf
(Tafsir).
6.
Dan
lain-lain
E.
Manhaj Ibnu Atsir dalam Kitab Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul
Sebelum membahas kitab Jamiul Fi Ahadis Rasul, penulis
memaparkan dahulu pengertian Jami’. Secara etimologinya, al-Jami’ artinya “yang
menghimpun” sehingga dapat dipahami bahwa kitab al- Jami’ adalah kitab yang
menghimpun banyak hal.[6]
Karena itulah, menurut istilah ulama hadis, pengertian kitab al-Jami’ ada dua
macam, yaitu: Pertama, Dilihat
dari segi pokok kandungan hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab al-Jami’
adalah kitab hadits yang disusun dan dibukukan oleh pengarangnya terhadap semua
pembahasan agama. Di antaranya masalah iman ,thaharah, ibadah, mu’amalah,
pernikahan, sirah, riwayat hidup, tafsir, adab, penyucian jiwa, fitnah dan lain
sebagainya. Inilah yangmembedakan antara kitab al- jami’ dan kitab al-Musannaf.
Karena hanya disusun berdasarkan permasalahan tertentu dan umumnya adalah
mengenai persoalanfikih, sedangkan al- Jami’ lebih umum. Kedua, Dilihat
dari segi sumber rujukan hadits-hadits yang dihimpunnya, pengertian kitab
al-Jami’ adalah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang berasal dari
kitab-kitab hadits yang telah ada.
Hanya saja secara umum, kitab al-Jami’ dimaknai dalam pengertiannya
yang pertama yaitu kitab disusun berdasarkan bab dan mencakup hadits-hadits
dari berbagai sendi ajaran Islam.[7]
Sebagai contoh kitab al-Jami’ adalah kitab Sahih al-Bukhari
(194-256 H), kitab tersebut ia beri nama “Al Jami’ Ash Shahih Al Musnad min
Haditsi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wassalam wa Sunanihi wa Ayyamihi.”.
kitab tersebut dinamakan al- Jami’ karena di dalamnya mencakup masalah yang
beraneka ragam, termasuk persoalan hukum, politik, dan sebagainya.
Begitu juga kitab Jamiul Ushil Fi Ahadis Rasul yang berisi
beranekaragam persoalan. Dalam menulis kitab ini, Ibnu Atsir berpegang kepada
kitab-kitab yang dipegangi oleh fuqoha' dan muhaddisin, seperti Muwatho',
Bukhari,Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai kitab-kitab ini sendiri lebih dimuliakan keshohihan periwayatannya
dari nabi. kemudian Ibnu Atsir mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab tersebut
dalam satu karangan. dan disusun sesuai
yang paling dekat mamafaatnya. dibuka
dengan pendahuluan berisi pengenalan metode yang diikuti dalam klasifikasi
karangan, dan menyebutkan undang-undang musthalah hadits yang diperlukan untuk
mengetahuinya dan ditutup dengan biografi imam enam yang dikumpulkan hadits-hadits
dalam bukunya.
Jika dilihat dari manhaj yang dipakai oleh Ibnu Atsir, setidaknya
ditemukan delapan manhaj[8]:
1.
Pengarang
menyebutkan dalam muqodimahnya bahwa yang pertama kali dilakukanya adalah
menghapus sanad, Oleh karena itu ia tidak memunculkan sanad-sanad kecuali nama
shabat yang merawikan hadits dari Nabi Muhammad SAW jika itu khabar, atau nama orang yang
meriwayatkannya dari sahabat jika itu atsar. Ini dimaksudkan bukan untuk
memalingkan hadits dengan menyebutkan nama seseorang perawi tetapi itu yang
dibutuhkan.. sesungguhnya maksudnya adalah untuk menetapkan makna yang dimaksud
dalam hadits.[9]
2.
Adapun
pada matan hadits, dia tetap pada hadis dari Rasulullah SAW, atau Atsar dari
sahabat, dan tidak ditemukan dari perkataan tabiin dan mujtahid usul yang
dikumpulkan pada kitabnya, maka itu tidak disebut kecuali sekali-kali.
3.
Ibnu
Atsir berpegang pada hadits-hadits dari
Kitab Bukhari muslin atau kitab al-jam'u baina shohihain karangan Imam
Abi Abdullah al-Hamidi. Dia juga
menyebutkan kitab tersebut sangat baik dalam penyusunanya . Adapun empat kitab
yang lain, beliau memuat dari apa yang dibacanya dan didengarnya, sebagaimana
ia berpegang kepada nash yang lainnya.
4.
Ibnu
Atsir lebih mengutamakan bukhori dan Muslim dari pada keempat imam yang lain,
sebab mereka lebih banyak menjaga
apa yang diriwayatkannya. Kecuali jika ditemukan suatu pertanyaan atau
penjelasan yang bisa menguatkan periwaytan empat imam yang lain. Maka
periwayatan mereka akan di samakan dengan bukhari dan Muslim.
5.
Ibnu
atsir dalam penyusunan kitabnya
mengikuti metode dari ke enam
imam tersebut , dengan penyusunan bab perbab. Selain itu Ibnu atsir juga
berpegang pada hadits di dalam kitab asalnya. Dan juga menetapkan hadits yang
menunjukan kesamaan maknanya dengan bab tersebut.
6.
Jika
terdapat hadist yang memiliki makna tersendiri, maka akan diletakkan pada bab
yang khusus. di dalamnya mencangkup hadist yang berbeda-beda maknanya.
7.
Kemudian
Ibnu Atsir juga mengeluarkan nama-nama rawi yang terdapat dalam kitab. Kemudian
beliau menyusunnya sesuai urutan Mu’jam. Untuk mempermudah mencari nama
rawi dari hadist tersebut.
8.
Jika
ada suatu hadits yang diriwayatkan oleh kebanyakan rawi, maka nama rawi
tersebut akan di sebutkan sebelum keenam imam tersebut. Dan jika hanya sebagian
dari mereka yang meriwayakan makan akan di beri tanda siapa yang mengeluarkan
hadist tersebut.
F.
Sistematikan Penulisan
Di dalam Kitab Jamiul
Ushul fi Ahadis Rasul karangan Ibnu Atsir ini terdapat pokok pembahasan
yang terdiri dari tiga rukun yaitu : Mabadi' (Pendahuluan), Maqosid (Tujuan)
danKhawatim (penutup).
Rukun Pertama
yaitu pendahuluan terdiri dari lima bab yaitu:
1. Ba'is fi amal kitab.
2. kaifiyah wad'i al-kitab
3. Fi Bayani Ushul Hadis wa Ahkamuha wa ma
yataalaq biha
4. fi zikri aimatu sunnat - RA - wa
asmaihim wa ansabihim wa a'marihim wamaqibihim wa asarihim
5. Fi zikri asanid al-kitab al-Ushul
al-Maduat fi kitabina haza
Rukun kedua berisi
maqosid (tujuan) dalam kitab ini. Disusun sesuai huruf hijaiyah, mulai dari hamzah
sampai ya’.
.Rukun ketiga
khawatim (penutup), terbagi kepada tiga kesimpulan. Yang pertamafi zikrri
ahadis, kedua fi zikri asma' wal kunni wal aban' wa alqob wa al-ansab,dan
ketiga fi Fahrasat al-kitab wal huruf
G.
Simbol dalam pengungkapan perawi
1. Shohih Al-Bukhari,
dengan kode (خ) karena dinasabkan kepada namanya.
2. Sahih Muslim dengan
kode (م)
karena namanya lebih terkenal dari nasab, dan
kunniyah m dari awal namanya.
3. Muwatta Imam Malik, dilambangkan dengan
huruf (ط)
karena masyhur dengan Muwatho’
4. Sunan al-Tirmidzi dengan kode (ت)
masyhur dengan nasabnya, dan awalhuruf nasabnya adalah Ta’.
5. Sunan Abu Dawud dengan kode (د)
karena Kunniyah lebih dikenal dari pada nasab dan namanya, dan huruf yang
terkenal dengan kunniyahnyayautu huruf dal
6. Sunan Nasai dengan
kode (س)
karena nasabnya lebih dikenal dari namanya.
H.
Bagaimana Mentakhrij Hadis dalam Kitab Ini?
Buku hadits ini yang disusun berdasar bab, dan bab tersebut
diurutkan berdasar huruf hijaiyah. Untuk itu kita merujuk kepada cara-cara yang
disandarkan fuqoha’ dan kembali kepada takhrij yang bisa mempermudah. Contoh hadis
"من كان يؤمن بالله.....الخز" maka kita temukan
dalam satu istinbat fiqh yaitu "الضيفة" , kemudia kita rujuk kembali kepada kitab Jamiul
Ushul.
I.
Contoh Hadits ibadah
A.
Zakat fitrah
) 1خ م ط ت د س)
أبو هريرة - رضي الله عنه - : أنَّ النبيَّ -صلى الله عليه وسلم- قال : «ليس على
المسلم صدقةٌ في عَبده ولا فَرَسه».
Dalam Hadits ini di jelaskan bahwasanya tidak ada zakat untuk orang
yang memiliki budak dan kuda. Dan kalau kita lihat dengan teliti hadits ini
membuang semua sanadnya hanya menyebutkan nama sahabat semata, dan di awal
kalimatnya terdapat huruf-huruf yang menjadi tanda dari mana hadits ini
diambil. Seperti huruf م ini menunjukan
bahwa hadits ini diambil dari kitab shahih Muslim.
Kemudian jika
ditemukan suatu matan hadits yang berbeda dengan matan hadits yang di atas maka
kan di tuliskan setelahnya seperti:
وفي روايةٍ ، قال : «ليس في العبد صدقةٌ إِلا صدقة الفطر» أَخرجه
البخاري، ومسلم، وأَخرج الباقون الروايةَ
ولأبي
داود أيضا ، أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال : «ليس في الخيل والرقيق زكاة إِلا
أَن زكاة الفطر في الرقيق».
وللنسائي أَيضا : «لا زكاة على الرجل المسلم في عبده ، ولا في فرسه».
Sesungguhnya makna dari hadits di atas itu sama dengan
hadits yang pertama melainkah matannya berbeda. Hadits yang diriwayatkan dari
Imam Bukhori misalnya menjelaskan bahwasanya seorang budak tidak mempunyai
kewajiban zakat melainkan zakat fitrah.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu dawud
mengatakan tidak adanya zakat kepada kuda dan budak melainkan zakat fitrah
untuk budak. Dan hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i juga demikian.
) .2خ م ط ت د س) أبو
سعيد الخدري - رضي الله عنه - : قال : «كُنَّا نُخْرِج زكاة الفطر صاعا من طعام ، أو
صاعا من شعير، أَو صاعا من تمر، أَو صاعا من أَقِطٍ ، أَو صاعا من زبيب» ، زاد في رواية
: «فلما جاء معاوية ، وجاءت السَّمْراءُ ، قال : أَرى مُدَّا من هذه يَعْدِلُ مُديَّنِ».
dan hadits yang kedua ini lebih cendrung menjelaskan tentang
sesuatu yang bisa di gunakan untuk membayar zakat fitrah. Seperti gandum,
kurma, keju, dan perasan anggur.
) .3د) عبد الله بن
ثعلبة - أو ثعلبة بن عبد الله بن أبي صعير - رحمه الله- : عن أبيه قال : قال رسول الله
-صلى الله عليه وسلم- : «زكاةُ الفطر صاعٌ من بُرٍّ ، أَو قَمحٍ عن كل اثنين ، صغيرٍ
أَو كبيرٍ، حُرٍّ ، أو عبد ، ذكر أو أُنثى ، أَما غَنِيُّكم : فيُزَكِّيهِ اللهُ ،
وأما فقيرُكم: فَيَرُدُّ الله تعالى عليه أكثر مما أعطى».زاد في رواية : «غَنيٍّ أَو
فقير»
.4(د)
عبد الله بن عمر - رضي الله عنهما - : قال : «فرضَ رسولُ الله -صلى الله عليه وسلم-
زكاة الفطر طُهْرَة للصائم من اللَّغْوِ والرَّفَثِ ، وطُعْمَة للمساكين ، من أدَّاها
قبل الصلاة فهي زكاةٌ مقبولة ، ومن أدَّاها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات».أخرجه
أبو داود
) .5س) قيس بن سعد بن عبادة - رضي الله عنه
- : قال : «كنا نصوم عاشوراء ، ونؤدِّي زكاة الفطر ، فلما نزل رمضان ، ونزلت الزكاةُ
: لم نُؤمَر به ، ولم نُنْه عنه ، وكنا نفعله». أخرجه النسائي.
B.
Shalat Tasbih
Shalat sunah
tasbih merupakan shalat sunah yang diajarkan Rasullulah kepada paman beliau
Sayyidina Abbas ibn Abdul Muthalib. [10]
Adapun
haditsnya yang diambil dari riwayat Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan jalur sanad sampai Abdullah bin Abbas,
yang berbunyi:
.1(د
ت) عبد الله بن عباس، وأبو رافع - رضي الله عنهم - : أن النبيَّ -صلى الله عليه وسلم-
قال للعباس بن عبد المطلب : «يا عباسُ ، يا عمَّاهُ ، ألا أُعطيكَ ، ألا أمنَحُكَ ،
ألا أُجِيزُكَ ، أَلا أفعلُ بكَ ؟ عشرُ خِصال إِذا أنتَ فعلتَ ذلك غَفَرَ اللهُ لكَ[ص:253] ذَنبَكَ : أَوَّلَهُ وآخِرَهُ ، قديمَه وحديثَه،
خطأَه وعمْدَه ، صغيرَه وكبيرَه ، سِرَّه وعلانيتَه ؟ عشرُ خصال: أن تُصلِّي أربع ركعات
، تقرأُ في كلِّ ركعة فاتحةَ الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغتَ من القراءةِ في أوَّلِ ركعة
وأنتَ قائم ، قلتَ : سبحانَ الله ، والحمدُ لله ، ولا إِله إِلا الله، واللهُ أكبر
- خمسَ عَشْرَةَ مرة - ثم تركعُ فتقولُها وأنتَ راكع عشرا ، ثم تَرفَعُ رأْسك من الركوعِ
فتقولها عشرا ، ثم تهوي ساجدا فتقولُها وأنتَ ساجد عشرا ، ثم ترفعُ رأسَكَ من السجود
فتقولُها عشرا ، ثم تسجدُ فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأْسك فتقولُها عشرا ، فذلك خمس وسبعون
في كل ركعة ، تفعلُ ذلك في أربع ركعات. إن استطعتَ أن تُصَلِّيَها في كلِّ يوم مرة
فافعلْ ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ جمعة ، فإن لم تَفْعَل ففي كلِّ شهر مَرَّة ، فإن لم
تفعلْ ففي كلِّ سَنَة مَرَّة ، فإِن لم تفعلْ ففي كُلِّ عمرِكَ مَرَّة». أخرجه أبو
داود عن ابن عباس.
Dalam hadits ini dijelaskan ada sepuluh perkara yang apabila kita
mengerjakannya maka Allah akan mengampuni semua dosa kita. Dosa pada awal dan
akhir, yang telah lampau dan yang baru,
dosa kecil dan besar, dan dosa yang tidak namapk maupun yang nampak.
Sepuluh
perkara itu adalah:
1.
apabila kamu shalat empat rakaat,
2.
di
setiap rakaat membaca Fatihah,
3.
membaca
surat,
4.
kemudian ketika selesai membca surat di rakaat
pertama posisi masih berdiri kemudian membaca: Subhanallah, Alhamdulilah,
Lailahaillallah, dan Allahu akbar lima belas kami,
5.
Kemudian ketika ruku’ sepuluh kali,
6.
Kambali dari ruku’ sepuluh kali,
7.
ketika
sujud sepuluh kali,
8.
duduk
diantara dua sujud sepuluh kali,
9.
kemudian sujud yang kedua sepuluh kali,
10.
dan
kemudian duduk istirahah ketika hendak berdiri sepuluh kali.
Maka, jumlah keseluruhan dari setiap raka’at adalah tujuh puluh
lima. Dan bila dikalikan 4 rakaat maka jumlahnya 300 kali. Shalat ini dinamakan
shalat tasbih karena di dalamnya membaca tasbih.
Cara
mengerjakannya sendiri seperti halnya 10 perkara di atas. Adapun niat shalat
tasbih sendiri sebagai berikut :
أصّلى سنّة التّسبيح ركعتين لله تعالى
Shalat Tasbih sendiri sangat
dianjurkan sekali untuk dikerjakan, kalau bisa setiap malam hari. Apabila tidak
bisa setiap malam hari maka setiap
minggu sekali, apabila tidak bisa lagi maka setiap bulan.sekali. Apabila satu bulan sekali tidak bisa maka
satu tahun sekali. Apabila satu tahun sekali juga tidak bisa maka setidaknya
seumur hidup sekali.
Adapun masih banyak lagi riwayat
tentang shalat tasbih melainkan riwayat dari Ibnu Abbas ini yang paling
terkenal. Adapun riwayat yang lain sebagai berikut:
عن أبي الجوزاء ، حدَّثني رَجُل
كانت له صحبة - يرون أنهُ عبدُالله بنُ عمرو - قال : «ائْتِني غدا أحْبُوكَ ، وأُثِيبُكَ
، وأُعطيكَ ، حتى ظننتُ أنه يُعطيني عطية ، قال: إِذا زال النهارُ فقُمْ فصلِّ أربعَ
رَكعات... فذكر نحوه ، قال : ثم ترفع رأسك - يعني : من السجود - وفي نسخة من السجدة
الثانية - فاسْتَوِ جالسا ولا تقم حتى تُسبِّحَ عشرا ، وتُهلِّلَ عشرا ، وتحمَدَ عشرا
، وتكبِّر عشرا ، ثم تصنعُ ذلك في الأربع ركعات ، قال : فإنك[ص:254] لو كنت أعظم أهل
الأرض ذنبا غُفِرَ لك بذلك ، قلتُ : فإن لم أَستطع أن أُصلِّيَها تلكَ الساعةَ؟ قال:
صَلِّهَا من الليل والنهار».
وفي رواية الأنصاري : «أَنَّ رسولَ الله -صلى الله عليه وسلم-
قال لجعفر بهذا... الحديث ، فذكر نحوه - قال في السجدة الثانية من الركعة الأولى».
وأخرجه الترمذي عن أبي رافع قال : قال النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- للعباس
: «يا عمِّ [أَلا أَصِلُكَ] ألا أحْبُوكَ ، ألا أَنْفَعُكَ؟ قال : بلى يا رسولَ الله
، قال : يا عمِّ صلِّ أربعَ رَكَعَات تقرأُ في كل ركعة بفاتحةِ الكتاب ، وسورة ، فإذا
انقضتْ القراءةُ فقل : الله أكبر، والحمد لله، ولا إِله إِلا الله، وسبحانَ الله ،
خمسَ عشرة مرة قبلَ أَن تركع... وذكر مثله ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة ، وهي ثلاثمائة
في أربع ركعات، فلو كانت ذُنُوبك مثْلَ رمْلِ عالِج غَفَرَهَا اللهُ لك ، قال : يا
رسولَ الله ، ومن لم يستطعْ أن يقولها في يوم ؟ قال : إِن لم تستطع أن تقولها في يوم
فَقُلْها في جمعة ، فإن لم تستطعْ أن تقولَها في جمعة فقلها في شهر، فلم يزل يقول له
حتى قال: فقلها في سنة».[ص:255]
Jika
kita teliti maka dapat kita simpulkan bahwasanya at-Tirmidzi, al Ansori, dan
Abi Jauza’ meriwayatkan hadits yang sama melainkan matan haditsnya berbeda,
akan tetapi maknanya sama.
Ibnu Atsir dalam kitabnya juga menjelaskan
kata-kata yang Gharib. ini sebagimana keahlianya. dijelaskan di awal bahwa kitabnya Ibnu Atsir
tentang gharibul hadits yaitu “An -Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar”
merupakan kitab gharibul hadits yang terbaik. Dan menjadi rujukan pertama dalam
memahami kata-kata yang gharib. contohnya :
[شَرْحُ
الْغَرِيبِ]
أَمْنَحْك المِنْحةُ
: العَطيَّةُ.
أُجِيزُكَ : الجائزة:
ما يعطى الوافد والقاصد، وأصل الجائزة: أن يُعطِيَ الرجلُ الرجلَ ماء، أو يجيزه ليذهب
لوجهه، يقول الرجل إذا ورد ماء لقيِّم الماء : أجزني ماء، أي : أعطني ماء حتى أذهبَ
لوجهي، ثم كَثُرَ حتى سموا الغِبطَةَ : جائزة.
أَحْبُوكَ : الحِبَاء
: العَطِيَّةُ.
Kesimpulan
Al-mubarak bin Muhammad bin muhammad bin abdul karim bin abdul
wahid as-saibani al-jazari, atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Atsir. Atsir
merupakan suatu gelar yang ditujukan kepada orang tua beliau yaitu Abi Muhammad
bin Abdul Karim.
Banyak sekali karya-karya beliau yang mendunia diantranya kitab Jami’ul
ushul fi ahadisir rasul kitab ini merupakan kitab Jami’ yaitu kitab yang
berisi beraneka ragam persoalan. Dalam menulis kitab ini Ibnu Atsir berpegang
pada kitab-kitab yang dipegangi oleh fuqoha' dan muhaddisin, seperti Muwatho',
Bukhari,Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai kitab-kitab ini sendiri lebih dimuliakan keshohihan periwayatannya
dari nabi. Dan masih banyak lagi kitab-kitab karya Ibnu Atsir yang mendunia
diantaranya:
1. An-Nihayah fi
Gharibil Hadits wal Atsar.
2. Asy-Syafi’i, Syarah
Musnad Syafi’i.
3. Al-Mukhtar fi
Manaqibil Akhyar.
4. Al-Badi’i (NahWu).
5. An-Insaf (Tafsir).
6. Dan lain-lain
dalam metode penulisan Ibnu Atsir membuang semua sanad hadits.
Kemudian dalam penyusunannya Ibnu Atsir mengurutkan berdasarkan alphabet. Kitab
ini juga mempunyai tiga pokok pembahasan. Pertama, aitu pendahuluan
terdiri dari lima bab yaitu:
1. Ba'is fi amal
kitab.
2. kaifiyah wad'i
al-kitab
3. Fi Bayani Ushul
Hadis wa Ahkamuha wa ma yataalaq biha
4. fi zikri aimatu
sunnat - RA - wa asmaihim wa ansabihim wa a'marihim wamaqibihim wa asarihim
5. Fi zikri asanid
al-kitab al-Ushul al-Maduat fi kitabina haza
Kedua, Rukun kedua
berisi maqosid (tujuan) dalam kitab ini. Disusun
sesuai huruf hijaiyah, mulai dari hamzah sampai ya’.
Ketiga, khawatim
(penutup), terbagi kepada tiga kesimpulan. Yang pertamafi zikrri ahadis, kedua
fi zikri asma' wal kunni wal aban' wa alqob wa al-ansab,dan ketiga fi Fahrasat
al-kitab wal huruf.
Dalam kitab ini
memuat banyak sekali hadits ibadah diantaranya shalat tasbih, zakat fitrah,
wudhu dan lain-lain. Seperti halnya hadits ini, yang menjelaskan tentang ibadah
shalat tasbih, mulai dari cara mengerjkannya dan fadilah mengerjakannya.
د ت) عبد الله بن عباس، وأبو رافع - رضي الله عنهم - : أن النبيَّ -صلى
الله عليه وسلم- قال للعباس بن عبد المطلب : «يا عباسُ ، يا عمَّاهُ ، ألا أُعطيكَ
، ألا أمنَحُكَ ، ألا أُجِيزُكَ ، أَلا أفعلُ بكَ ؟ عشرُ خِصال إِذا أنتَ فعلتَ ذلك
غَفَرَ اللهُ لكَ[ص:253] ذَنبَكَ : أَوَّلَهُ وآخِرَهُ ، قديمَه وحديثَه، خطأَه وعمْدَه ، صغيرَه
وكبيرَه ، سِرَّه وعلانيتَه ؟ عشرُ خصال: أن تُصلِّي أربع ركعات ، تقرأُ في كلِّ ركعة
فاتحةَ الكتاب ، وسورة ، فإذا فرغتَ من القراءةِ في أوَّلِ ركعة وأنتَ قائم ، قلتَ
: سبحانَ الله ، والحمدُ لله ، ولا إِله إِلا الله، واللهُ أكبر - خمسَ عَشْرَةَ مرة
- ثم تركعُ فتقولُها وأنتَ راكع عشرا ، ثم تَرفَعُ رأْسك من الركوعِ فتقولها عشرا ،
ثم تهوي ساجدا فتقولُها وأنتَ ساجد عشرا ، ثم ترفعُ رأسَكَ من السجود فتقولُها عشرا
، ثم تسجدُ فتقولها عشرا ، ثم ترفع رأْسك فتقولُها عشرا ، فذلك خمس وسبعون في كل ركعة
، تفعلُ ذلك في أربع ركعات. إن استطعتَ أن تُصَلِّيَها في كلِّ يوم مرة فافعلْ ، فإن
لم تفعلْ ففي كلِّ جمعة ، فإن لم تَفْعَل ففي كلِّ شهر مَرَّة ، فإن لم تفعلْ ففي كلِّ
سَنَة مَرَّة ، فإِن لم تفعلْ ففي كُلِّ عمرِكَ مَرَّة». أخرجه أبو داود عن ابن عباس.
Daftar Pustaka
al-Bukhari,
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah, al-Jami’ al-Sahih al -Musnad min Haditsi
Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi , Beirut;
Dar Ibn Katsir, 1987
Dzabahi,
Siyaru A'lamin Nubala,
Ibnu
Mandzur, Al-Alamah, Lisan al-Arab,
Kairo: Dar al-Hadis, 2003 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Arab-Indonesia ,
Yogyakarta: Pustaka Progressif,2004
Mustaqim,
Abdul, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi, Yogyakarta:
Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008
Rifa’I,
Muhammad, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Semarang: PT. KARYA TOHA
PUTRA, 2011
http://www.academia.edu
[1] Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami
Hadis Nabi (Yogyakarta: Bidang
Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 1
[2]
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia , (Yogyakarta: Pustaka
Progressif,2004), hlm. 756
[3] Al-Alamah
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Kairo: Dar al-Hadis, 2003), hlm. 70
[4] Dzabahi,
Siyaru A'lamin Nubala, jld 21, h. 388
[7]
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih al -Musnad min
Haditsi Rasulillahi Sallallahu ‘alaihi wa sallama wa sunanihi wa ayyamihi ,
(Beirut; Dar Ibn Katsir, 1987), h. 76
[8] Ibnu
Atsir,Jamiul Ushul Fi Ahadis Rasul, (Maktabah Tsamilah.) h, j
[10] Muhammad Rifa’i. Risalah Tuntunan Shalat
Lengkap, (Semarang: PT. KARYA TOHA PUTRA, 2011) hlm 97