Meluruskan Definisi Orang bertaqwa

on Rabu, 10 Desember 2014


I.     Pendahuluan   
Kata taqwa sudah umum didengar dan sangat familiar baik di dunia keagamaan maupun pendidikan. Dalam al Qur’an kata taqwa terdapat 224 ayat dengan berbagai bentuk  yang berbeda-beda tergantung konteks ayat yang ada. akan tetapi, inti dari semua ayat itu bermuara pada beberapa pengertian, yaitu taqwa adalah orang yang beriman, taqwa adalah takut atau patuh dan taqwa adalah beramal soleh.
Ketiga pengertian tersebut terdapat dalam surat 2: 182, 3:15-16, 3: 133-134, 2: 224, 2:21, 2:282, 4:9, 2:187, 39: 24, 2:24, 26:16, 13:34, 3:28, 2:180.[1]
Dalam pembahasan ini kami ingin menjelaskan bagaimana tanda-tanda orang yang bertaqwa menurut konteks Al-Qur’an. Supaya kita lebih memahami pengertian taqwa yang dikehendaki dalam Al-Qur’an. sebab banyak sekarang orang-orang yang kadang mengklaim dirinya sebagai orang yang bertaqwa. Padahal kalau kita amati secara perilaku tidak mencerminkan selayaknya orang yang bertaqwa.
II.                Bentuk Taqwa dalam Al-Qur’an
A.    Pengertian al-Mutaqȋn
Kata al-mutaqȋn adalah isim fail dalam bentuk jamak dari  ittaqâ–yattaqī  (اتَّقَى- يَتَّقِىْ), yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Juga kata taqwa berarti “berjaga-jaga atau melindungi diri dari sesuatu”. Secara etimologi, kata taqwa mengandung pengertian “menjaga diri  dari segala perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan melaksanakan segala yang diperintahkannya”.[2]
Kata ittaqâ berasal dari kata waqa-yagi-wiqayah yang berarti “menjaga diri menghindari dan menjahui” yaitu menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakan, taqwa juga berarti mengetahui dengan akal, memahami dengan hati dan melakukan dengan perbuatan.[3]
Al-Qur’an menyebut orang yang bertaqwa dengan muttaqī, jamaknya muttaqīn, yang berarti orang yang bertaqwa. Jika di atas disebutkan bahwa kata taqwa dalam Al-Qur’an ada 224 kali, sedangkan dari jumlah sebanyak itu, bisa kita perinci lagi dengan kata al-muttaqīn  yang di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 43 kali. Yaitu pada surat Al-Baqarah, Āli ‘Imrȃn, al-Mȃidah, al- A’rȃf, at-Taubah, Hūd, al-Hijr, an-Naḥl, Maryam, al-Anbiyȃ’, an-Nūr, al-Furqȃn, asy-Syu’arȃ’, al-Qaṣaṣ, Ṣȃd, Az-Zumar, az-Zukhruf, ad-Dukhȃn, Al-Jȃṡiyȃt, at-ṭūr, al-Qalam, al-Ḥȃqqah, al-Mursalȃt dan an-Naba’. [4] kata ini digunakan Al-Qur’an untuk:
1.       Mengambarkan bahwa orang yang bertaqwa akan dicintai Allah, dan di akhirat nanti akan diberikan pahala serta tempat yang paling baik yaitu surga.
2.      Mengambarkan bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.
3.      Mengambarkan bahwa Allah merupakan pelindung (wali) bagi orang yang bertaqwa.
4.      Mengambarkan bahwa beberapa kisah yang terjadi merupakan peringatan dan teladan bagi orang yang bertaqwa.
B.     Tanda-tanda Orang Yang Bertaqwa
Setelah kita mengetahui pengertian dari taqwa kurang Afdol jika kita tidak membahas tentang tanda-tanda dari orang yang bertaqwa. Tidak sulit sebenarnya jika kita ingin mengetahuinya, karena pembahasan ini pada ayat-ayat awal sudah dijelaskan, seperti dalam firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ  sebagai berikut:
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣ وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ﴿٤[5]
Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,(2) ( yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,(3) dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.(4)
Dalam ayat di atas di jelaskan bahwa tanda-tanda orang yang beriman, yaitu:
1.                  الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ  "beriman kepada yang Ghaib.
a.      Makna kalimat :
 يُؤْمِنُونَ: banyak sekali pendapat dalam menafsirkan kalimat tersebut di antaranya pendapat Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwasanya yang dimaksud Mu’minūna adalah percaya. sedangkan Ibnu Abbas memaknainya dengan orang-orang yang percaya ( membenarkan ). sedangkan Ibnu Jarir Ath-Thabari berpendapat “Bahwa yang lebih utama bila mereka menggambarkan keimanan pada masalah yang ghaib secara ucapan, keyakinan, dan perbuatan; dan ada kalanya takut kepada Allah termasuk kedalam pengertian iman yang intinya ialah membenarkan ucapan dengan perbuatan. Iman adalah suatu istilah yang mencakup pengertian iman kepada Allah, kitab-kitabnya, dan Rasul-Rasulnya. dan membenarkan kesaksian yang dibuktikan dengan suatu perbuatan”. Sedangkan  Ibnu Katsir menafsiri kamimat iman di sini dengan percaya secara tulus.[6]
            ada pula yang memaknai iman dengan “takut kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ. Sebagiman yang terkandung dalam firmannya:
ٱلَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم بِٱلْغَيْبِ
            (Yaitu) orang-orang yang takut (azab) Tuhannya, sekalipun mereka tidak melihat-Nya”[7]
                       
kemudian lafad بِٱلْغَيْبِ banyak pendapat tentang penafsiran ayat tersebut ulama’ salaf sendiri berbeda pendapat dalam menafsirkan lafad bi ghaibi dalam ayat ini. Tetapi, semua pendapat itu sahih. Karena jika kita simpulkan, maka akan ketemu suatu penafsiran yang sama.
                        Abu Ja’far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi’ Ibnu Abbas dari Abu Aliyah tentang penafsiran  الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ.  Menurut Abu Aliyah makana dari ayat tersebut adalah “ mereka beriman kepada Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya, Rasul-rasulnya, hari kemudian (akhirat), surga dan nerakanya, berjumpa dengannya; juga beriman kepada kehidupan setelah mati dan hari kebangkitan.” Semua itu merupakan hal yang ghaib. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Qatadah Ibnu Di’amah.   Kemudian  Sofyan As-Sauri meriwayatkan dari Asim dari Zurr yang mengatakan yang dimaksud al ghaib adalah Al Qur’an. sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa makna ghaib ialah hal-hal yang didatangkan oleh Allah.[8]
                                    Kemudian Ibnu Mas’ud dan sejumlah sahabat Nabi ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam  berpendapat ghaib ialah hal-hal yang tidak kelihatan oleh hamba-hamba Allah, seperti masalah syurga, neraka, dan semua hal yang disebutkan di dalam Al Qur’an.
Jika kita amati dengan seksama Semua hal tersebut saling berdekatan dalam hal pengertian, mengingat pada garis besarnya semua itu kembali kepada makna ghaib yang harus diimani.

Jadi yang di maksud dari ayat di atas:  الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ adalah beriman kepada Allah Subḥnahu wa Ta’l, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar dan sebagainya.
Dalam ayat lain juga di jelaskan bahwa :

لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيّنَ
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi.[9]

2.      وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ ( dan mendirikan salat)
Ibnu Abbas mengatakan mendirikan salat ialah mereka mendirikan fardu-fardu salat (yakni rukun-rukunnya).
 kemudian Dahhak menjelaskan yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan mendirikan salat ialah menyempurnakan rukuk, sujud, bacaan Al Qur’an, khusyuk, dan menghadap sepenuh jiwa dan raganya dalam salat.[10]
Sedang Qatadah mengatakan bahwa mendirikan salat artinya memelihara waktu-waktunya, wudlu, rukuk, dan sujud, kemudian Muqatil Ibnu Hayyan menambahi makna tersebut dengan bacaan Al Qur’an, bacaan tasyahud dan salawat buat Nabi SAW “ didalam salat”.
Jadi, maksud dari ayat di atas adalah mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya, terus-menerus, dan mengerjakannya setiap hari sesuai dengan yang diperintahkan Allah Subḥnahu wa Ta’l, baik lahir maupun batin. Yang dimaksud “lahir” adalah mengerjakan salat dengan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan sunah Rasul, dan  Yang dimaksud dengan “ batin “ ialah mengerjakan salat dengan hati yang khusyuk, dengan segala ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Subḥnahu wa Ta’l, dan merasakan keagungan dan kekuasaan Allah Subḥnahu wa Ta’l yang menguasai dan menciptakan seluruh alam ini sebagaimana yang dikehendaki oleh agama.

3.      وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ (dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami anugrahkan kepada mereka)
Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka ialah mereka menunaikan zakat harta benda dengan benar.
As-Saddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Salih, dari Ibnu Abbas, juga Murrah ( Al-Hamadani), dari Ibnu Mas’ud  dan dari sejumlah sahabat Rasulullah ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam  bahwa makna “ menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka “ ialah “ nafkah seorang lelaki kepada keluarganya “. Hal ini dipahami sebelum turunnya ayat mengenai zakat.[11]
Ibnu Jarir At-Thabari memilih pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini bermakna umum, mencakup zakat dan nafkah. Beliau mengatakan bahwa takwil yang paling utama dan paling berhak dikemukakan sesuai dengan sifat dari kaum yang bertaqwa ialah “hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang berada pada harta benda mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah orang-orang yang harus ia nafkahi dari kalangan keluarga, anak-anak, dan lain-lainnya yang mempunyai hubungan kekerabatan”. Karena Allah menyifati dan memuji mereka dengan sebutan tersebut, setiap nafkah dan zakat adalah perbuatan yang terpuji dan para pelakunya mendapat pujian.
Makna dari ayat ini adalah menyisikan sebagian rezeki yang Allah berikan kepada kita untuk orang lain baik dari kalangan keluarga ataupun untuk hal yang berguna bagi orang lain dengan niatan melaksanakan perintah Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
4.      وَٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ وَبِٱلْءَاخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ ( dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat(
Ibnu Abbas berpendapat bahwa makna Ayat di atas adalah mereka percaya kepada apa yang engkau datangkan dari Allah, juga percaya kepada apa yang telah diturunkan kepada Rasul-Rasul sebelummu, tanpa membeda-bedakan di antara mereka dan tidak mengingkari apa yang di datangkan oleh para Rasul itu dari tuhan mereka. Mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat yaitu percaya akan adanya bangkit, percaya kepada neraka, hisab, hari kiamat, surga dan mizan. Sesungguhnya hari kemudian dinakamkan hari akhirat karena terjadi sesudah kehidupan dunia.[12]
          Ulama’ ahli tafsir berbeda pendapat dengan yang di kehendaki oleh ayat ini. Apakah yang di maksud dalam ayat ini adalah orang orang-orang yang dimaksud dalam ayat sebelumnya. Yaitu:
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
      (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka,
Atau mereka adalah orang-orang lainnya? Menurut Ibnu Jarir Ath Thabari ada tiga pendapat ulama’ mengenai masalah ini:
Pertama: mereka yang sifatnya disebut pada ayat pertama, demikian pula dengan mereka yang sifatnya disebutkan dalam ayat berikutnya, adalah setiap mukmin, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan Arab, orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab dan selain mereka. Demikian pendapat Mujahid, Abdul Aliyah, Ar-Rabi’ Ibnu Anas, dan Qathadah.
Kedua: keduanya sama, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Berdasarkan makna ini, berarti huruf wawu adalah huruf ‘athaf dari satu sifat ke sifat lain. Sebagaimana pengertian yang ada dalam firmannya:
سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى ﴿١ ٱلَّذِى خَلَقَ فَسَوَّىٰ ﴿٢ وَٱلَّذِى قَدَّرَ فَهَدَىٰ ﴿٣
 وَٱلَّذِى أَخْرَجَ ٱلْمَرْعَىٰ ﴿٤ فَجَعَلَهُۥ غُثَاءً أَحْوَىٰ ﴿٥  
Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, Yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan Yang menumbuhkan rerumputan, lalu dijadikan-Nya (rumput-rumput) itu kering kehitam-hitaman.[13]
Sebaimana yang di katakana oleh penyair:
الى الملك القرم  وابن الهمّام # وليث الكتيبة في المزدحم
Kepada Raja al-Qarm yaitu Ibnu Hammun alias singa pasukan dalam perang yang sejati
Dalam ungkapan ini suatu sifat di ‘athaf kepada sifat lain, sedangkan mansukhnya sama.
Ketiga: mereka yang sifatnya disebutkan pada ayat pertama adalah orang-orang yang beriman dari kalangan bangsa Arab. Sedangkan mereka yang disebut dalam ayat kedua, yaitu firmannya:
“dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat”[14]
Adalah orang-orang yang beriman dari kalangan ahli kitab. Pendapat ini dinukil oleh as-Saddi, dan sejumlah sahabat Rasulullah ṣalla Allah ‘Alayhi wa sallam. Pedapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari lalu beliau memperkuat pendapatnya dengan  dalil firmannya:
وَإِنَّ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَمَن يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْهِمْ خَٰشِعِينَ لِلَّهِ
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah, dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu, dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah.[15] Hingga akhir ayat.
Dan juga dalil firmannya:
ٱلَّذِينَ ءَاتَيْنَٰهُمُ ٱلْكِتَٰبَ مِن قَبْلِهِۦ هُم بِهِۦ يُؤْمِنُونَ ﴿٥٢ وَإِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ قَالُوٓا۟ ءَامَنَّا بِهِۦٓ إِنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن
رَّبِّنَآ إِنَّا كُنَّا مِن قَبْلِهِۦ مُسْلِمِينَ ﴿٥٣ أُو۟لَٰٓئِكَ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُم مَّرَّتَيْنِ بِمَا صَبَرُوا۟ وَيَدْرَءُونَ بِٱلْحَسَنَةِ
 ٱلسَّيِّئَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٥٤
Orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an, mereka beriman (pula) kepadanya (Al-Qur'an). Dan apabila (Al-Qur'an) dibacakan kepada mereka, mereka berkata, Kami beriman kepadanya, sesungguhnya (Al-Qur'an) itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami. Sungguh, sebelumnya kami adalah orang muslim”. Mereka itu diberi pahala dua kali (karena beriman kepada Taurat dan Al-Qur'an) disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada mereka.[16]
Ibnu Jarir ath Thabari tidak memakai dalil apapun untuk memperkuat pendapatnya. Melainkan hanya makna kesimpulan saja. Yaitu” pada permulaan surat Al-Baqarah ini Allah telah menyifati prihal orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Sebagaiman beliau mengklalifikasikan orang-orang kafir kedalam dua golongan, yaitu golongan orang kafir dan golongan orang munafik. Beliau juga membagi orang-orang mukmin menjadi dua golongan, yaitu orang-orang mukmin dari kalangan arab dan orang-orang mukmin dari kalangan ahli kitab.
Kesimpulan Tafsir dari ayat di atas adalah beriman kepada kitab-kitab yang telah di turunkanya (Allah), yaitu beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab ( wahyu ) Taurat, Zabur, Injil, dan ṣaḥfah- ṣaḥfah yang di turunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Ṣalla Allah `Alaihy wa Sallam. Meskipun dalam beriman kepada kitab-kitab selain Al-Qur’an bersifat ijmali ( global ), sedangkan beriman kepada Al-Qur’an harus bersifat tafsili (terperinci). Beriman kepada kitab-kitab dan ṣaḥἷfah- ṣaḥἷfah tersebut berarti beriman pula kepada para rasul yang telah di utus Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ kepada umat-umat yang terdahulu dengan tidak membedakan antara seseorang dengan yang lain dari rasul-rasul Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ.[17] Sedangkan beriman kepada hari akhirat. “ akhirat “ lawan dari “ dunia “. Akhirat ialah tempat manusia berada setelah dunia ini lenyap. “ beriman akan adanya akhirat “ ialah benar-benar percaya adanya hidup yang kedua setelah dunia ini berakir.
Orang-orang yang mempunyai sifat lima di atas adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Subḥᾱnahu wa Ta’ᾱlᾱ dan merekalah orang-orang yang akan merasakan hasil iman dan amal mereka di akhirat nanti, mereka yang memperoleh keridaan Allah dan tempat tinggal mereka di akhirat ialah surga yang penuh kenikmatan.[18]

III.             Kesimpulan
Takwa adalah menjaga diri dari segala pebuatan dosa dengan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ dan melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkannya. Seorang dianggap bertakwa apabila dia beriman kepada yang ghaib yaitu Allah SWT, para malaikat, hari kiamat, surga, neraka, mahsyar, dan lain sebagainya. Kemudian dia harus mengerjakan dan menunaikan salat dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya kemudian mengerjakannya secara terus-menerus sesuai yang diperintahkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ baik secara lahir maupun batin.
Setelah itu dia juga harus menginfakkan sebagian rezeki yang dianugerahkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ kepadanya baik unuk keluarganya maupun orang lain. Kemudian dia juga harus mengimani kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah Subhânahu wa Ta’âlâ baik itu Al Qur’an maupun kitab lainnya seperti Taurat, Zabur, Injil, dan shahifah-shahifah klain yang diurunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Yang terakhir harus meyakini akan adanya akhirat yaitu tempat dimana manusia berada setelah dunia ini hancur.
Jadi apabila ada seseorang yang mengaku dirinya bertakwa akan tetapi dia tidak memiliki tanda-tanda sesuai dengan ciri-ciri orang bertakwa diatas, maka perlu kita tanyakan ketakwaannya.

Daftar Pustaka
Al -Qur’an.
Damashqi (al), Abi Al Fida`Ismail bin Umar bin Kathir al Quraishi , Tafsir                            Al Qur`an al    Azim.Bairut:Dar Ibnu hazim, 2000.
Fauziah, Nailul.” konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an,                                                       http://derapkakidebu.blogspot.sg/2012/03/konsep-taqwa-dalam-al-                          quran.html, (diakses    pada Rabu, 03 Desember 2014).
RI, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: CV.DUTA GRAFIKA,2009.









[1] Nailul Fauziah, konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an, http://derapkakidebu.blogspot.sg/2012/03/konsep-taqwa-dalam-al-quran.html, diakses pada Rabu, 03 Desember 2014.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,( Jakarta:CV.DUTA GRAFIKA,2009) 1:33
[3] Fauziah, , konsep Taqwa Dalam Al-Qu’an,  diakses pada Rabu, 03 Desember 2014
[4] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, 1:33
[5] Al-Baqarah,2:2-4
[6] Abi Al Fida`Ismail bin Umar bin Kathir al Quraishi al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al Azim,(Bairut:Dar Ibnu hazim, 2000) 1:84
[7] Al-Anbiya’ : 21:49
[8] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim, 1:84
[9] Al-Baqarah:2:177
[10] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim, 1:85
[11] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Azim, 1:87
[12] Al Damashqi, Tafsir Al Qur`an al ‘Aim, 1:87
[13] Al ‘A`la, 87:1-5
[14] Al Baqarah: 2:4
[15] ‘Ali ‘Imran : 3:199
[16] Al Qasas :28:52-54
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirny,1:34
[18] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya,1:35