Prioritas Pendidikan Dalam Islam

on Jumat, 09 Oktober 2015


Prioritas Pendidikan Dalam Islam
oleh : Alawy Assyihab
Eksistensi suatu peradaban ditentukan oleh kamapanan suatu pendidikan. Bahkan bisa dibilang pendidikan merupakan aspek pokok yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Berangkat dari suatu konsep pendidikan yang benar, akan melahirkan suatu bangsa yang maju.
Ada suatu qaul yang mengatakan bahwa:
اطلب العلم من المهد اللحد
“tuntutlah ilmu mulai dari buaian ibu sampai masuk keliang lahat”
Dari qaul di atas bisa diidentifikasi, bahwa pendidikan harus sudah diterima oleh anak semenjak ia masih kecil atau masih dalam asuhan Ibu berlajut sampai ia dewasa dan meninggal.
            Selain itu, pendidikan anak usia dini menjadi penting. Sebab, dalam rangka membangun masyarakat yang ideal perlu ada suatu pengawasan terhadap perkembangan anak semanjak usia dini dan menjaganya agar tidak terpengaruh dengan budaya-budaya yang buruk. Sejarah pun telah mencatat bagaimana peran generasi muda terhadap keberhasilan suatu perjuangan.
            Hanya saja, muncul suatu permasalahan dalam system pendidikan yang diterapkan oleh masyarakat. Mayoritas masyarakat belum memahami prihal adanya skala proritas dalam pendidikan anak. Kebanyakan para orang tua dan pendidik lebih memprioritaskan pendidikan dalam dalam sisi duniawi. Bisa jadi ini disebabkan oleh sikap hedonisme yang muncul sebab globalisasi. Hedonisme sendiri merupakan suatu sikap yang menganggap bahwa materi adalah pokok dari kebahagiaan. Sehingga mereka tidak memperdulikan apa yang dia lakukan bisa merugikan orang lain atau tidak.
            Padahal selain itu masih ada pendidikan yang harus lebih diprioritaskan. Salah satunya adalah pendidikan karakter (budi pekerti). Umar Ahmad Baradja dalam kitab al-akhlak Lil Banin bercerita:
            Suatu hari Ahmad beserta Bapaknya bertamasya disebuah kebun (taman). Ahmad melihat setangkai bunga mawar yang indah. Akan tetapi, tangkai bunga tersebut bengkok.  Maka Ahmad berkata: betapa indahnya bunga ini. Tetapi, kenapa wahai bapakku ia bengkok? Bapaknya berkata: karena sesungguhnya tukang kebun tidak memperhatikan pada pertumbuhannya sejak kecil, maka jadilah bengkok. Ahmad berkata: alangkah lebih baiknya kita memperbaikinya sekarang. Bapaknya pun tertawa, kemudian berkata: tidak semudah itu wahai anakku, karena sesungguhnya ia sudah besar dan batangnya sudah mengeras.
Maka, seperti itulah gambaran seorang anak yang tidak dididik dengan budi pekerti yang baik sejak masih kecil. Tidak mungkin ia akan berbudi luhur ketika dewasa nanti. Sungguh begitu penting pendidikan karakter dalam pertumbuhan seorang anak. Maka tidak salah kalau pendidikan harus mendapat prioritas utama.
Makna Pendidikan Karakter
            Abdullah Nashih `Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam berpendapat pendidikan karakter adalah kumpulan dasar-dasar pendidikan budi pekerti serta keutamaan sikap dan watak yang wajib dimiliki oleh seorang anak dan dijadikan kebiasaannya semenjak usia tamyis hingga ia menjadi mukallaf (baliq). Hal ini terus berlanjut secara bertahap hingga sampai pada fase dewasa. Sehingga ia siap untuk mengarungi lautan kehidupan.  
            Tidak diragukan lagi bahwa keluhuran akhlak, tingkah laku dan watak adalah buah dari keimanan yang tertanam dalam pendidikan agama yang benar. Jika seorang anak kecil  tumbuh atas dasar keimanan kepada Allah SWT, terdidik atas dasar rasa takut kepadanya, merasa selalu mendapat pengawasan darinya, bergantung kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, dan berserah diri kepadanya. Maka akan terjaga dalam dirinya kefitrahan. Sebab, kuatnya agama yang mengakar dalam sanubarinya dan perasaan selalu diawasi oleh Allah SWT telah tertanam dalam hati. Semua itu akan menjadi suatu filter dalam diri anak tersebut terhadap sifat-siafat tercela dan mengikuti suatu kebiasaan jahiliyah yang buruk. Bahkan menerima suatu kebaikan menjadi hal biasa, serta kecintaannya terhadap suatu hal yang mulia menjadi tujuan utama dalam hidupnya.
             Akan tetapi, ketika pendidikan terhadap anak itu jauh dari tuntunan akidah Islam (keimanan), hanya sekedar arahan agama, hubungan manusia dan Allah SWT. Tanpa menanamkan suatu akidah yang kuat. Maka anak tersebut akan tumbuh di atas kefasikan, penyimpangan dan kesesatan. Sebab ia mungkin akan mudah goyah keimanannya ketika mendapat suatu cobaan dari Allah SWT. Bahkan hawa nafsu pun mudah untuk menuntunnya untuk berbuat suatu kejelekan dan mengikuti bisikan-bisikan setan.
            Dalam suatu dijelaskan :
حق الولد على والده ان يحسن اسمه ويحسن موضعه ويحسن ادبه (رواه البيهقى(
                “ Yang termasuk hak dari seorang anak atas adalah memberi nama yang baik, memberinya tempat yang baik, dan mengajarinya budi pekerti” (HR. Baihaqi)
Berdasarkan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa para pendidik terutama orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak untuk mengajarinya kebaikan dan prinsip-prinsip kesopanan.
            Para pendidik memiliki tanggung jawab dalam pendidikan anak mulai dari pembentukan akhlak semenjak mereka kecil, seperti kejujuran, amanah, tolong menolong, menghormati orang tua dan lain-lain.
Perbuatan Buruk
            Abdullah Nashih `Ulwan dalam Tarbiyatul Aulad Fil Islam mengutarakan bahwa pendidikan yang baik menurut pandangan Islam yaitu ketika pendidikan tersebut menitik beratkan terhadap suatu perhatian dan pengawasan terhadap pertumbuhan Anak. Maka sudah seharusnya pada orang tua dan pendidik dan siapa pun yang menjadi pemerihati pendidikan dan akhlak untuk menghindarkan anak pada empat hal yang dibawah ini sebab merupakan perbuatan yang paling buruk, yaitu:
1.      Suka Berbohong
2.      Suka Mencuri
3.      Suka Mencaci dan Mencela
4.      Kenakalan dan penyimpangan.
Di antara empat kebisaan buruk di atas, kebiasaan suka berbohong merupakan akhlak yang paling tercela. Sebab, sifat pembohong termasuk dalam tanda-tanda orang munafik. Seperti yang dijelaskan dalam suatu hadis:
 عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : آية المنافق ثلاث إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان.
“ tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: ketika berkata ia bohong, ketika berjanji ia ingkar, dan ketika dipercaya ia berkhianat”
Setelah kita melihat dampak yang bisa ditimbulkan oleh berbohong. Maka tidak ada alasan bagi para pendidik untuk menjauhkan anak-anak dari sifat pembohong. Meskipun itu sifatnya untuk kebaikan, seperti menenangkan ketiak menangis, menenangkan suatu perkara kepadanya, atau menenangkan ketika  marah. Jika para pendidik melakukan hal-hal tersebut, maka sebenarnya mereka telah membiasakan mereka untuk melakukan hal-hal yang buruk berupa sebuah kebohongan. Disamping itu, kebohongan akan melemahkan suatu kepercayaan diri dan melemahkan kepercayaannya di masyarakat.
Setelah kita mengetahui bagaiman perlunya memahami konsep pendidikan yang diajarkan Islam, khususnya pendidikan karakter. Sebeb, ketika kita lalai dalam mendidik akhlak putra-putri kita, maka mereka akan melakukan penyimpangan dan prilaku yang buruk. Kemudian merekan akan menjadi suatu acaman bagi keamanan dan ketentraman di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, hendaknya kita selalu menanamkan keimanan yang kuat dalam mendidik anak. Laksanakanlah kewajiban, kerahkanlah semua kekuatan dan laksanakanlah tanggung jawab yang dibebankan kepada kita. Manakala kewajiban tersebut terlaksana dengan baik, maka kita akan melihat anak-anak kita tumbuh menjadi bunga yang wangi di dalam keluarga, bulan purnama yang bersinar terang di tengah masyarakat, dan seperti malaikat yang berjalan di muka bumi dengan tenang.

Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll

on Selasa, 24 Maret 2015




Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran
Orientalis Dalam Kajian Hadis
Dosen Pengampu:
M. Najib Bukhori, M.Th.I.

Description: Lambang STAI.jpg

Oleh:
Syihabuddin Alwy
(2012.01.01.051)



PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015
Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll
Oleh: Syihabuddin Alwy
I.     Pendahuluan
Tidak hanya al-Qur`an yang menjadi sasaran para orientalis. Hadis yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur`an pun tidak lepas dari serangan para orientalis. Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam  baik berupa pembicaraan maupun perbuatan. Para orientalis meragukan ke otentikan Hadis berasal dari Rasullulah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama, Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1] 
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2] Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru tentang kreteria kesejarahan sebuah Hadis. Pada Dasarnya teori common link adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber Hadis melalui prespektif sejarah.[3]
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari Hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.
II.      G.H.A Junyboll dan Common Link
A.    Biografi G.H.A Junyboll dan karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional.[4]  Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.[5]
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.[6]
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden, Belanda.[7]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer.  Semenjak ia menilis sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society.  Junyboll memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.[8]
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW  Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun 2010 dalam usia 75 tahun.[9]
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”, “On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft, vol. IV.[10]
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an, fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic Jurisprudence.[11]



III.   Pemikiran G.H.A Juynboll dalam Mengkaji Hadis
Hampir seluruh ahli hadis dan umat Islam mempercayai bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik (al-Kutub al-Sittah) adalah sahih (otentik). Akan tetapi, pada abad XIX dan abad ke XX, para sarjana barat, seperti Goldzihe, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas teori kritik hadis  yang dipergunakan oleh para sarjana muslim dan sekaligus mepertanyakan otensititas hadis nabi yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik. Atas dasar itulah yang membuat mereka termotivasi untuk merumuskan teori-teori baru yang diharapkan akan betul-betul mampu menyeleksi dan memisahkan hadis-hadis palsu yang sahih (otentik).[12]
Mereka juga menganggap bahwa metode kritik hadis konvesional memiliki beberapa kelemahan, yaitu: pertama, metode kritik isnad baru berkembang pada priode relative sengat lambat.  Kedua, isnad hadis, sekalipun sahih, dapat dipalsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak ada suatu kreteria yang tepat untuk memeriksa matan hadis.
Pandangan Juynboll terhadap hadis tidak terlepas kepada pemikiran pendahuluanya seperti: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Yang mana mereka beranggapan bahwa hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau sebuah refleksi kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa tersebut. Sebuah isnad diklaim sebagai suatu rekayasa dari para ahli fiqh klasik dan ahli hadis, untuk melegitimasi pendapatnya. Maka, bisa dikatakan tidak ada satupun hadis, terlebih yang menyangkut persoalan hukum dapat dipertimbangkan sebagai hadis sahih. Kesimpulanya, sebuah hadis bukanlah berasal dari nabi, melainkan dari generasi tabiin.[13]
Dalam hal ini Juynboll mengajukan solusi dalam mengkaji hadis dengan menggunakan metode common link dan analisis isnad. Common link tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadis konvensional, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang  menjadi pijakan metode itu. Jika metode hadis konvensional perpijak pada kualitas periwayatnya, maka metode common link tidak menekankan pada kualitas periwaytnya saja, melaikan juga kuantitasnya.
dalam penelitiannya terhadap hadis, Juynboll menggunakan metode yang dibangun diatas prinsip-perinsip dasar kritik teks historis-filologis.[14] Filologis adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber tertulis dari bangsa tersebut.[15] Jadi, dalam pendekatan filologi ini mengfokuskan pada kajian pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamanan untuk mengetahui budaya kerohanian keagamaan tersebut.
Sedangkan pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana difahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu pendekatan historis juga menelusuri hubungan suatu karya dengan karya yang lain. Sehingga unsur-unsur kesejarahan bisa diketahui.[16] Dari sini bisa diketahui bahwa pendekatan historis-filologis menitik beratkan pada naskah, bahasa, makna, pengarang, asal usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah.
A.    Asal Usul dan Perkembangan Hadis
Para ahli hadis sepakat bahwa tidak semua hadis itu asli. Ada sebagian hadis yang palsu, bukan dari nabi. Akan tetapi setidaknya hadis yang terdapat dalam koleksi hadis kanonik adalah otentik bersumber dari Nabi.
Sedangkan Juynboll berpendapat bahwa setiap hadis meskipun itu bersumber dari koleksi hadis, yang kanonik sekalipun itu tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula Nabi. Nabi dan sahabat tidak bertanggungjawab atas masuknya nama mereka dalam isnad hadis. Adapun yang bertanggungjawab atas matan dan isnad hadis adalah perawi yang disebut common link dalam bundelan isnad hadis. Akan tetapi, jarang seorang common link dari sebuah hadis itu berasal dari  kalangan sahabat dan tabiin besar. Akan tetapi, kebanyakan seorang common link adalah para tabiin kecil dan para generasi setelahnya.[17] Jadi, jika seorang sababat dan tabiin tidak pernah menyandang sebagai common link apalagi seorang Nabi.
 Ada beberapa teori tentang kelahiran isnad. Yang mana dalam beberapa teori tersebut Juynboll memilih, bahwa perang sipil kedua adalah titik kelahiran dan perkembangan isnad. Perang sipil ini terjadi pada 63 H. Dengan diproklamirkan Abdullah bin Zubaīr sebagai khalifah tandingan di Makkah menantang kekuasaan khalifah Umayyah di Damaskus.
Teori tentang kelahiran isnad ini mungkin karena sebuah pernyataan dari Ibnu Sirrin (w.110 H) yang termuat dalam muqaddimah Sahih muslim:
Dulu, orang-orang bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah (Perang Sipil)[18]  mereka berkata, jelaskan nama-nama isnad kalian jika berasal dari ahlussunah maka hadis kalian di terima, dan jika berasal dari ahli bida’ maka hadis kalian diabaikan”[19]
Juynboll sendiri tidak memungkiri bahwa sejak awal para sahabat sudah membicarakan tentang hadis. Akan tetapi, ia tidak percaya jika pada dekade setelah wafatnya Nabi sudah ada periwayatan secara formal dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya standarisasi hadis baru dimulai setelah diperkenalkan isnad sebagai alat untuk membuktikan keaslian hadis pada abad pertama Hijriyah.[20] Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat pemisah antara hadis otentik dan palsu tidak lebih awal dari abad pertama Hijriyah.
Menurut Juynboll, Diantara sekian banyak sahabat hanya Anas bin Malik (w. 91 H) yang meninggal saat isnad hadis dinyatakan mulai muncul. Akan tetapi, ketika diteliti dalam berbarbagai koleksi hadis kanonik hanya ada beberapa hadis yang mengposisikan Anas bin Malik sebagai common link. Jadi, kebanyakan common link adalah para tabiin kecil dan yang paling sering adalah para generasi ke dua atau ke tiga setelah Anas bin Malik. Hal ini juga berlaku untuk untuk para sahabat tanpa terkecuali, baik itu meninggal setelah meninggalnya nabi dan meninggal delapan puluh tahun kemudian.[21]
Dilain tempat Juynboll mengakui memang ada sahabat yang menjadi common link dalam bundelan isnad. Terlebih jika melihat penanggalan asal usul isnad, yakni 60-70an di mana ada sahabat muda yang menyebarka hadis. Hanya saja ini menurut dia hanya terbatas dalam beberapa kasus tertentu. Jadi, ada indikasi penyandara hadis kepada nabi adalah palsu, karena hampir semua sahabat telah meinggal dalam beberapa dekada sebelum isnad menjadi alat penyeleksi hadis. Adanya nama sahabat dalam isnad yang disandarkan kepada nabi, ini diselipkan oleh periwayat yang menempati posisi common link.[22]
B.     Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[23]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link. Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat disandarkan pada orang-orang  yang mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat), kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin) yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat dipertahankan. Singkatnya,  jalur yang hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang  otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid  atau lebih banyak.  Dengan kata lain, common link merupakan sebutan untuk perawi  tertua dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah ditemukan common linknya.[24]
Teori common link dan teori hadis konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[25]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri, sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah dan Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum dan hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.[26]
Selain sebagai awal permulaan isnad common link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan para ahli hadis.[27]
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan terpercaya.[28]
Proses inilah yang dinamakan dengan projection beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi. Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan isnad-isnadnya.
IV.   Kritik Atas Teori Common Link
M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak berdasar.[29]
Musthafa Azami mencoba menelusuri dan membuktikan bahwa teori common link tidaklah ilmiah. Teori tersebut hanyalah sebuah sebuah imajinasi dari Josep Schacht yang kemudian di kembangkan oleh  G.H.A Juynboll. Dalam hal ini Juynboll mencoba menelusuri isnad dalam naskah Suhaili. Hasilnya, hadis-hadis yang terdapat dalam naskah tersebut dapat dibagi atas tiga kategori: Pertama, hadis-hadis yang diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat, yang mana ia memiliki seorang murid, dan murid itu sendiri juga hanya mempunyai seorang murid yang meriwayatkan hadis darinya. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok ini berjumlah 5 hadis (hadis nomor 11, 28, 35, 43, dan 44). Kedua, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang hanya mempunyai seorang murid. Akan tetapi, hadis- hadis ini di dukung oleh para sahabat lainnya. Hadis yang tercakup dalam kategori ini berjumlah 11 hadis, yakni hadis nomor 1, 2, 13, 14, 29, 31, 34, 37, 38, 39, dan 42. Ketiga, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang memiliki lebih dari seorang murid. Pada saat yang sama, hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat lain yang menyampaikannya kepada sejumlah muridnya. Hadis dalam kelompok ini berjumlah 32 hadis. Yakni nomor 3, 4,, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dll. [30]
Menurut Azami, fenomena common link sangat jarang, jika tidak pernah terjadi dalam periwayatan hadis. Metode common link hanyalah imajinasi dari Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.[31]
Naskah Suhaili ini berisi 40 hadis. Sementara  M. M Azami meneliti para perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqat al-thalithah) termasuk tentang  jumlah dan domisili mereka. Dia membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian, M. M. Azami berkesimpulan sangat mustahil menurut situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian  oleh generasi-generasi berikutnya  diketahui  bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht,  baik tentang  rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan).
Kemudian M. M Azami dalam disertasinya mengungkapkan berbagai fakta-fakta untuk menolak semua pikiran-pikiran atau argumen-argumen oleh para orientalis. Misalnya, seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Robson, Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan lain-lain.
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht adalah yang paling banyak mendapat kritikan dari Muhammad Mustafa Azami karena kedua tokoh ini dinilai yang paling banyak berpengaruh dalam hal pembabatan hadis Nabi, baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendekiawan Muslim.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadis terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah hasil bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan teori Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu menisbahkan atau mengaitkan pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh- tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang- orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam sehingga membentuk sanad hadis.
Kemudian Untuk melemahkan teori Schacht ini, M. M. Azami yang melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abū  Salih (W 138 H). Abū  Shālih (ayah Suhail) adalah murid Abū Huraīrah, sahabat  Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam . Abū Hurairah, Abu Salih.
Azami juga mempertanyakan anggapan bahwa periwayat yang menduduki posisi common link perlu di curigai atau lebih dari itu, dituduh telah memalsukan hadis. Menurutnya, jika memang ditemumukan seorang periwayat, seperti al-Zuhri yang menjadi satu-satunya periwayat yang menyampaikan kepada sejumlah muridnya, akan tetapi kita mengatahui bahwa kethiqahannya diakui oleh para kritikus hadis maka tak ada alasan jika beliau memalsukan hadis. Karena kita perlu menyertakan bukti yang kuat ketika menuduh seseorang telah memalsukan hadis.
Ahli hadis pun mengakui bahwa problem periwayatan hadis secara sendirian dan implikasinya. Akan tetapi semua itu bergantung kepada perawinya. Jika perawinya seseorang Thiqah muttaqin, maka hadisnya bisa dinyatakan sebagai sahih. Sebaliknya, jika seorang perawi atau orang di bawahnya itu dinyatakan shuqud maka hadisnya dianggap munkar. Dengan demikian, interprestasi Juynboll yang mengatakan bahwa seorang common link adalah pemalsu dan pencetus hadis itu tidak dapat diterima. Sebab, diterima atau ditolaknya sebuah hadis itu tergandung kualitas seorang perawi bukan kuantitas perawinya sebagaimana kereteria yang ditetapkan Juynboll.
Ditempat lain, Juynboll menunjukan bahwa jika seorang tidak melihat seluruh isnad dalam hadis, maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang common link. Karena bisa jadi ketika seseorang itu mengakatan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh al Zuhri seorang dan ia tertuduh sebagai common link. Padahal, disisi lain jika kita teliti ada jalur lain selain al Zuhri semisal Hisyam. Maka, al Zuhri tidak lagi sebagai the real common linknya, akan tetapi orang diatasnya yang bisa dikatakan the real common link. Dan begitu seterusntya sampai isnad sambung kepada Nabi.[32]



V.       Kesimpulan
Juynboll dengan teori common link mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link. Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya) kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi. Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll. Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada 20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Thiqah. Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan kethiqahan al-Zuhri.


Daftar Pustaka
Akbar, Arfan, dkk, “Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Azami, M. M,  Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition of Some Early Text . Beirut: al-Maktab al-Islam.
Idri, “Otentitas Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”. ISLAMICA, 7, 2013.
Junyboll, G.H.A, The Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Leiden: E.J. Brill, 1969.
Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies In Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith. Cambridge University Press, 1983.
Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi. Yogjakarta: LKIS, 2007.
Nāisābūrī (al), Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin Muslim al Qushāirī, Sahīh Muslim. Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt.
Partanto, Pius A, dkk, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Putriyanti, dkk, “Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012.

.



[1] Putriyanti,dkk, “Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 112.
[2] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007) 2
[3] Idri, “Otentitas Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”, ISLAMICA, 7, (2013),251.
[4] Masrur, Teori Common Link, 15.
[5] Ibid, 15.
[6] Ibid., 16.
[7] G.H.A. Junyboll, The Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1969).
[8]  Masrur, Teori Common Link, 16.
[9]  Ibid., 17.
[10] Ibid., 30.
[11] Ibid., 31
[12] Ibid., VI.
[13]  Idri, Otentitas Hidis Mutawātir, 34.
[14] Masrur, Teori Common Link, 115.
[15] Pius A Partanto,dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994) 178.
[16] Arfan Akbar,dkk, “Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 146.
[17] Masrur, Teori Common Link,104.
[18] Sebagian besar ahli hadis di kalangan Islam dari abad pertengahan hingga masa sekarang sepakat kalau yang dimaksud fitnah dalam pernyataan Ibnu Sirrin adalah perang sipil pertama. Akan tetapi Schacht berpendapat ini perang sipil ketiga. Sendangkan J. Robson berpendapat berdasarkan bukti-bukti baru diantara dua pernyataan tersebut adalah perang sipil kedua.
[19] Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin Muslim al Qushāirī al Nāisābūrī, Sahīh Muslim, (Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt) 2.
[20] Masrur, Teori Common Link,107-108.
[21] Ibid., 108-109.
[22] Ibid., 109.
[23] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies In Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge University Press, 1983), 207.
[24]  Akbar, Peran Gautier Juynboll, 148.
[25] Masrur, Teori Common Link, 78.
[26]  Masrur, Teori Common Link, xi.
[27] Idri, Otentitas Hidis Mutawātir, 255.
[28] Ibid., 255.
[29] M. M Azami, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition of Some Early Text (Beirut: al-Maktab al-Islami), 234.
[30] Masrur, Teori Common Link, 170-175.
[31] Ibid., 171.
[32] Masrur, Teori Common Link, 175.

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran
Orientalis Dalam Kajian Hadis
Dosen Pengampu:
M. Najib Bukhori, M.Th.I.

Description: Lambang STAI.jpg

Oleh:
Syihabuddin Alwy
(2012.01.01.051)



PROGRAM STUDI ILMU ALQUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2015
Hadis Dalam Prespektif G.H.A Juynboll
Oleh: Syihabuddin Alwy
I.     Pendahuluan
Tidak hanya al-Qur`an yang menjadi sasaran para orientalis. Hadis yang merupakan sumber kedua setelah al-Qur`an pun tidak lepas dari serangan para orientalis. Hadis adalah segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam  baik berupa pembicaraan maupun perbuatan. Para orientalis meragukan ke otentikan Hadis berasal dari Rasullulah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam.
Di kalangan orientalis, telah mengakar suatu pendapat bahwa sebagian besar Hadis merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang Agama, Politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad pertama dan kedua. Dan Hadis itu bukanlah merupakn dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhanya. Melainkan salah satu efek kekuasaan pada masa kejayaanya.[1] 
Teori-teori kritik Hadis yang dikeluarkan oleh Ignaz Goldziher, Joseph Schacth dan G.H.A Juynboll menpunyai suatu kesinambungan. Yang mana G.H.A Junyboll melakukan suatu pengembangan terhadap teori common link yang dikeluarkan oleh Joseph Schacth.[2] Melalui teori common link ini Junyboll mencoba menawarkan gagasan baru tentang kreteria kesejarahan sebuah Hadis. Pada Dasarnya teori common link adalah sebuah teori yang dipersiapkan menyoroti otentisitas sumber Hadis melalui prespektif sejarah.[3]
Maka, tidak salah bila isnad yang menjadi sumber otentisitas dari Hadis menjadi pokok permasalahan dalam teori common link. Dalam tulisan ini pemakalah ingin mengkaji isnad dalam pandangan G.H.A Junyboll melalui teori common linknya dan apakah secara ilmiah teori ini bisa diterima.
II.      G.H.A Junyboll dan Common Link
A.    Biografi G.H.A Junyboll dan karya-karyanya
Gauiter H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari persoalan klasik hingga kontemporer. Menurut P.S. van koningsveld kepakaran Junyboll yang merupkan murid dari J.Brugmen, dalam kajian sejarah awal hadis telah memperoleh pengakuan internasional.[4]  Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ketokohannya di bidang hadis dapat disejajarkan dengan nama-nama seperti Jemes Robson, Fazlur Rahman, M.M. Azami, dan Michael Cook.[5]
Dalam pendahuluan bukunya yang berjudul Studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith, Junyboll mengklaim telah menjelaskan perkembanga penelitian atas literature hadis secara kronologis sejak akhir tahun 1960-an hingga 1996.[6]
Pada 1965 hingga 1966, dengan dana bantuan dari The Netherland Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO), Juynboll tinggal di mesir untuk melakukan penelitain disertasi mengenai pandangan para teolog mesir terhadap literature hadis. Akhirnya, pada Kamis, 27 Maret 1969 desertasi yang ia sususun bisa dipertahankan di depan komisi senad, guna meraih gelar Doktor di bidang sastra di Fakultas Sastra, Unirversitas Negeri Leiden, Belanda.[7]
Setelah selesai melakukan penelitian disertasinya, Juynboll kemudian melakukan penelitian mengenai berbagai persoalan, baik yang klasik maupun kontemporer.  Semenjak ia menilis sebuah makalah yang bertitel: “On The Origins of Arabic Prose” dan dimuat dalam buku Studies on the Century of Islamic Society.  Junyboll memutuskan untuk memusatkan perhatiannya pada studi hadis dan tidak pernah meninggalkannya lagi.[8]
Selain meneliti, Juynboll juga mengajar di berbagai Universitas di Belanda. Akan tetapi, kegiatan mengajar dan membimbing mahasiswa yang sedang menulis tesis dan disertasi kurang begitu diminatinya. Pada usia 69 tahun, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40 Nl-2313 HW  Leiden, Belanda. Dia meningggal pada tahun 2010 dalam usia 75 tahun.[9]
Sebagai seorang ilmuan dan peneliti dalam bidang hadis, banyak sekali karya-karya yang ia hasilkan baik berupa buku maupun artikel, yang mana semua itu ikut memberikan sumbangan terhadap studi hadis khususnya dan studi Islam pada umumnya. Sebagian besar pemikiranya, terutama yang terkait dengan studi hadis dan teori common link, dielaborasi dalam tiga bukunya: the Aunthenticity of the Traditional Literature: Discussion in Modern Egypt, Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith dan studies on the Origins and Uses of Islamic Hadith.
Selain tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di bidang hadis dalam bentuk artikel, seperti: “The Date of the Great Fitna”, “On the Origins of Arabic Prose: Reflection on the Authenticity”, “Shu’bah al-Hajjaj and His Position Among the Traditionist of Basra”, and, “An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess”, Theologie Und Gesellchaft, vol. IV.[10]
Sementra karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi al-Qur`an, fiqh, historiografi, diantranya adalah Review of Quranic studies: Sources and metods of Scriptural Interpretation by John Wonsbough, Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition os Islamic Salvation History, Some Trought on Early Muslim Historiography, New Perspective in the Study Early Islamic Jurisprudence.[11]




III.   Pemikiran G.H.A Juynboll dalam Mengkaji Hadis
Hampir seluruh ahli hadis dan umat Islam mempercayai bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik (al-Kutub al-Sittah) adalah sahih (otentik). Akan tetapi, pada abad XIX dan abad ke XX, para sarjana barat, seperti Goldzihe, Schacht, dan Juynboll mulai meragukan validitas teori kritik hadis  yang dipergunakan oleh para sarjana muslim dan sekaligus mepertanyakan otensititas hadis nabi yang terdapat dalam kitab-kitab kanonik. Atas dasar itulah yang membuat mereka termotivasi untuk merumuskan teori-teori baru yang diharapkan akan betul-betul mampu menyeleksi dan memisahkan hadis-hadis palsu yang sahih (otentik).[12]
Mereka juga menganggap bahwa metode kritik hadis konvesional memiliki beberapa kelemahan, yaitu: pertama, metode kritik isnad baru berkembang pada priode relative sengat lambat.  Kedua, isnad hadis, sekalipun sahih, dapat dipalsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak ada suatu kreteria yang tepat untuk memeriksa matan hadis.
Pandangan Juynboll terhadap hadis tidak terlepas kepada pemikiran pendahuluanya seperti: Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht. Yang mana mereka beranggapan bahwa hadis merupakan hasil perkembangan keagamaan, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau sebuah refleksi kecenderungan-kecenderungan yang tampak pada masyarakat muslim selama masa-masa tersebut. Sebuah isnad diklaim sebagai suatu rekayasa dari para ahli fiqh klasik dan ahli hadis, untuk melegitimasi pendapatnya. Maka, bisa dikatakan tidak ada satupun hadis, terlebih yang menyangkut persoalan hukum dapat dipertimbangkan sebagai hadis sahih. Kesimpulanya, sebuah hadis bukanlah berasal dari nabi, melainkan dari generasi tabiin.[13]
Dalam hal ini Juynboll mengajukan solusi dalam mengkaji hadis dengan menggunakan metode common link dan analisis isnad. Common link tidak hanya berimplikasi pada upaya merevisi metode kritik hadis konvensional, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang  menjadi pijakan metode itu. Jika metode hadis konvensional perpijak pada kualitas periwayatnya, maka metode common link tidak menekankan pada kualitas periwaytnya saja, melaikan juga kuantitasnya.
dalam penelitiannya terhadap hadis, Juynboll menggunakan metode yang dibangun diatas prinsip-perinsip dasar kritik teks historis-filologis.[14] Filologis adalah studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya sastra atau sumber tertulis dari bangsa tersebut.[15] Jadi, dalam pendekatan filologi ini mengfokuskan pada kajian pada naskah-naskah atau sumber-sumber keagamanan untuk mengetahui budaya kerohanian keagamaan tersebut.
Sedangkan pendekatan historis ialah pendekatan yang menelusuri arti dan makna bahasa yang sudah tertulis sebagaimana difahami pada saat pengarang menulisnya. Selain itu pendekatan historis juga menelusuri hubungan suatu karya dengan karya yang lain. Sehingga unsur-unsur kesejarahan bisa diketahui.[16] Dari sini bisa diketahui bahwa pendekatan historis-filologis menitik beratkan pada naskah, bahasa, makna, pengarang, asal usul atau latar belakang kesejarahan naskah, dan hubungan antar naskah.
A.    Asal Usul dan Perkembangan Hadis
Para ahli hadis sepakat bahwa tidak semua hadis itu asli. Ada sebagian hadis yang palsu, bukan dari nabi. Akan tetapi setidaknya hadis yang terdapat dalam koleksi hadis kanonik adalah otentik bersumber dari Nabi.
Sedangkan Juynboll berpendapat bahwa setiap hadis meskipun itu bersumber dari koleksi hadis, yang kanonik sekalipun itu tidak bersumber dari sahabat dan tidak pula Nabi. Nabi dan sahabat tidak bertanggungjawab atas masuknya nama mereka dalam isnad hadis. Adapun yang bertanggungjawab atas matan dan isnad hadis adalah perawi yang disebut common link dalam bundelan isnad hadis. Akan tetapi, jarang seorang common link dari sebuah hadis itu berasal dari  kalangan sahabat dan tabiin besar. Akan tetapi, kebanyakan seorang common link adalah para tabiin kecil dan para generasi setelahnya.[17] Jadi, jika seorang sababat dan tabiin tidak pernah menyandang sebagai common link apalagi seorang Nabi.
 Ada beberapa teori tentang kelahiran isnad. Yang mana dalam beberapa teori tersebut Juynboll memilih, bahwa perang sipil kedua adalah titik kelahiran dan perkembangan isnad. Perang sipil ini terjadi pada 63 H. Dengan diproklamirkan Abdullah bin Zubaīr sebagai khalifah tandingan di Makkah menantang kekuasaan khalifah Umayyah di Damaskus.
Teori tentang kelahiran isnad ini mungkin karena sebuah pernyataan dari Ibnu Sirrin (w.110 H) yang termuat dalam muqaddimah Sahih muslim:
Dulu, orang-orang bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah (Perang Sipil)[18]  mereka berkata, jelaskan nama-nama isnad kalian jika berasal dari ahlussunah maka hadis kalian di terima, dan jika berasal dari ahli bida’ maka hadis kalian diabaikan”[19]
Juynboll sendiri tidak memungkiri bahwa sejak awal para sahabat sudah membicarakan tentang hadis. Akan tetapi, ia tidak percaya jika pada dekade setelah wafatnya Nabi sudah ada periwayatan secara formal dan terstandarisasi. Sebab, menurutnya standarisasi hadis baru dimulai setelah diperkenalkan isnad sebagai alat untuk membuktikan keaslian hadis pada abad pertama Hijriyah.[20] Dengan demikian, pemakaian isnad sebagai alat pemisah antara hadis otentik dan palsu tidak lebih awal dari abad pertama Hijriyah.
Menurut Juynboll, Diantara sekian banyak sahabat hanya Anas bin Malik (w. 91 H) yang meninggal saat isnad hadis dinyatakan mulai muncul. Akan tetapi, ketika diteliti dalam berbarbagai koleksi hadis kanonik hanya ada beberapa hadis yang mengposisikan Anas bin Malik sebagai common link. Jadi, kebanyakan common link adalah para tabiin kecil dan yang paling sering adalah para generasi ke dua atau ke tiga setelah Anas bin Malik. Hal ini juga berlaku untuk untuk para sahabat tanpa terkecuali, baik itu meninggal setelah meninggalnya nabi dan meninggal delapan puluh tahun kemudian.[21]
Dilain tempat Juynboll mengakui memang ada sahabat yang menjadi common link dalam bundelan isnad. Terlebih jika melihat penanggalan asal usul isnad, yakni 60-70an di mana ada sahabat muda yang menyebarka hadis. Hanya saja ini menurut dia hanya terbatas dalam beberapa kasus tertentu. Jadi, ada indikasi penyandara hadis kepada nabi adalah palsu, karena hampir semua sahabat telah meinggal dalam beberapa dekada sebelum isnad menjadi alat penyeleksi hadis. Adanya nama sahabat dalam isnad yang disandarkan kepada nabi, ini diselipkan oleh periwayat yang menempati posisi common link.[22]
B.     Common Link Awal Permulaan Isnad dan pembuat hadis
Juynboll dalam kajian hadis mengadopsi teori common link yang dikeluarkan oleh Schacht. Menurutnya teori common link adalah teori yang brilian. Sayangnya teori tersebut belum dikembangkan secara luas oleh pengkaji hadis. Hal ini disebabkan karena teori ini kurang mendapat perhatian, elaborasi, atau penekanan yang selayaknya, bahkan oleh Schacht sendiri.[23]
Dalam teori ini Junyboll berperan sebagai pengembang dari pendahulunya seperti Ignaz dan Schacht. yang mana inti dari teori ini mereka berasumsi bahwa hadis muncul pada era common link. Hadis sendiri merupakan produk buatan seorang common link. Demi mendapatkan legitimasi umat Islam akhirnya hadis-hadis yang mereka buat disandarkan pada orang-orang  yang mempunyai otoritas tinggi sebelumnya seperti pada sahabat manupun nabi.
Teori commom link telah digunakan oleh Juynboll dalam pengkajian asal usul dan sejarah awal periwayatan hadis selama dua puluh tahun. Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik menuju maupun meninggalkanny, semakin besar pula seorang periwayat dan jalur periwayatanya memiliki klaim sejarah. Dengan kata lain bahwa jalur yang dipercaya sebagai jalur yang mempunyai historis adalah jalur yang bercabang kelebih dari satu jalur. Sedangkan, jika suatu hadis diriwayatkan dari nabi melalui seseorang (sahabat), kemudian kepada orang lain (tabiin) dan orang yang lain lagi (tabiit-tabiin) yang akhirnya sampai pada common link dan setelah itu jalur isnad bercabang keluar, maka kesejarahan periwayatan tunggal tersebut tidak dapat dipertahankan. Singkatnya,  jalur yang hanya bekembang ke satu jalur saja atau Single Stand tidak dipercaya kesejarahanya.
Dalam teori commom link suatu isnad hadis bermula dari seorang common link. Common link sendiri merupakan istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang  otoritatif (berwenang). Lalu ia menyandarkan pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid  atau lebih banyak.  Dengan kata lain, common link merupakan sebutan untuk perawi  tertua dalam berkas isnad yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Dengan kata lain berkas isnad hadis itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka di sanalah ditemukan common linknya.[24]
Teori common link dan teori hadis konvensional dalam kenyataanya sangat berbeda. Dalam metode kritik hadis konvensional lebih menekankan pada kualitas seorang perawi hadis. Jika isnad hadis terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya, maka hadis tersebut dinyatakan sahih. Sebaliknya, jika isnad sebuah hadis terdiri dari orang-orang yang tidak dipercaya, maka hadis tidak diterima.[25]
Akan tetapi, sebagaian besar pengkaji hadis barat merasa keberatan dengan metode kritik tersebut. Sebab, metode ini hanya menekankan penelitian bentuk luar hadis tidak kepada teks hadis itu sendiri, sehingga metode ini hanya dapat menyingkirkan sebagian hadis palsu tidak secara keseluruhan. Dan juga metode ini apakah dapat membuktikan kebenaran sejarah kepriwayatan hadis atau tidak. Sebab, metode kritik konvensional memiliki beberapa kelemahan. Selain itu kemunculan metode kritik hadits konvensional tersebut juga disebabkan karena adanya konflik antara para ahli hadits dan ahli fiqh klasik di Madinah dan Iraq dan dalam kaitannya dengan konflik tersebut berbagai keputusan hukum dan hadits-hadits formal dan yang di terima secara umum disebarluaskan dan diberi isnad-nya hingga sampai kepada Nabi.[26]
Selain sebagai awal permulaan isnad common link juga tertuduh sebagai pembuat hadis. Yang mana hadis tersebut digunakan adakalanya untuk menguatkan pendapatnya. Sekitar abad pertaman hijriyah banyak diangkat para hakim, demi memperoleh legitimasi dari putusan hukum yang ia keluarkan, para hakim menyandarkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang mempunyai otoritasi. Dan langkah ini yang kemudian melahirkan konflik dengan para ahli hadis.[27]
Para ahli hadis sendiri kemudian mempunyai suatu pemikiran bahwa hadis-hadis formal yang berasal dari nabi harus mampu mengantikan hasil putusan-putusan perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat laporan atau hadis yang diklaim didapatkan dari para perawi. Baik yang melihat perkataan atau perbuatan Nabi yang kemudian yang kemudian diriwayatkan secara lisan, dengan disertai isnad yang sambung dan terpercaya.[28]
Proses inilah yang dinamakan dengan projection beck. Berawal dari itu Schacht maupun Juynboll yang mengadopsi teorinya berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqh dan ahli hadis sema-sama melakukan pemalsuan hadis.m oleh karena itu, tidak ada hadis yang benar-benar dari Nabi. Semua hadis yang ada hanyalah produk yang muncul dari persaingan antara ulama tersebut.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang common link adalah pihak yang bertanggungjawab atas munculnya hadis dan isnad-isnadnya.
IV.   Kritik Atas Teori Common Link
M. M Azami tidak hanya mempertanyakan interpretasi tentang fenomena common link dan single strand, tetapi juga meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung menyatakan bahwa metode common link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali tidak berdasar.[29]
Musthafa Azami mencoba menelusuri dan membuktikan bahwa teori common link tidaklah ilmiah. Teori tersebut hanyalah sebuah sebuah imajinasi dari Josep Schacht yang kemudian di kembangkan oleh  G.H.A Juynboll. Dalam hal ini Juynboll mencoba menelusuri isnad dalam naskah Suhaili. Hasilnya, hadis-hadis yang terdapat dalam naskah tersebut dapat dibagi atas tiga kategori: Pertama, hadis-hadis yang diriwayatkan hanya oleh seorang sahabat, yang mana ia memiliki seorang murid, dan murid itu sendiri juga hanya mempunyai seorang murid yang meriwayatkan hadis darinya. Hadis-hadis yang termasuk pada kelompok ini berjumlah 5 hadis (hadis nomor 11, 28, 35, 43, dan 44). Kedua, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang hanya mempunyai seorang murid. Akan tetapi, hadis- hadis ini di dukung oleh para sahabat lainnya. Hadis yang tercakup dalam kategori ini berjumlah 11 hadis, yakni hadis nomor 1, 2, 13, 14, 29, 31, 34, 37, 38, 39, dan 42. Ketiga, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu yang memiliki lebih dari seorang murid. Pada saat yang sama, hadis tersebut diriwayatkan oleh para sahabat lain yang menyampaikannya kepada sejumlah muridnya. Hadis dalam kelompok ini berjumlah 32 hadis. Yakni nomor 3, 4,, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, dll. [30]
Menurut Azami, fenomena common link sangat jarang, jika tidak pernah terjadi dalam periwayatan hadis. Metode common link hanyalah imajinasi dari Schacht yang tidak pernah ada dalam kenyataan.[31]
Naskah Suhaili ini berisi 40 hadis. Sementara  M. M Azami meneliti para perawi hadis-hadis itu sampai generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-tabaqat al-thalithah) termasuk tentang  jumlah dan domisili mereka. Dia membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah rawi berkisar antara 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka berpencar-pencar dan berjauhan, sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian, M. M. Azami berkesimpulan sangat mustahil menurut situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian  oleh generasi-generasi berikutnya  diketahui  bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan beliau ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht,  baik tentang  rekonstruksi terbentuknya sanad hadis maupun bunyi teks hadis (matan).
Kemudian M. M Azami dalam disertasinya mengungkapkan berbagai fakta-fakta untuk menolak semua pikiran-pikiran atau argumen-argumen oleh para orientalis. Misalnya, seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Robson, Wensicnk, Guillaume, Sachau, dan lain-lain.
Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht adalah yang paling banyak mendapat kritikan dari Muhammad Mustafa Azami karena kedua tokoh ini dinilai yang paling banyak berpengaruh dalam hal pembabatan hadis Nabi, baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan sementara cendekiawan Muslim.
Joseph Schacht dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law berkesimpulan bahwa hadis terutama yang berkaitan dengan hukum Islam adalah hasil bikinan para ulama abad kedua dan ketiga hijriyah. Untuk mendukung kesimpulannya ini, ia mengetengahkan teori Projecting Back (proyeksi ke belakang), yaitu menisbahkan atau mengaitkan pendapat para ahli fiqh abad kedua dan ketiga hijrah kepada tokoh- tokoh terdahulu agar pendapat itu memiliki legitimasi dari orang- orang yang mempunyai otoritas lebih tinggi. Menurutnya, para ahli fiqh telah mengaitkan pendapatnya dengan para tokoh sebelumnya, sampai kepada Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam sehingga membentuk sanad hadis.
Kemudian Untuk melemahkan teori Schacht ini, M. M. Azami yang melakukan penelitian khusus tentang hadis-hadis nabawi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abū  Salih (W 138 H). Abū  Shālih (ayah Suhail) adalah murid Abū Huraīrah, sahabat  Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam. Karenanya, sanad atau transmisi hadis dalam naskah itu berbentuk dari Nabi Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam . Abū Hurairah, Abu Salih.
Azami juga mempertanyakan anggapan bahwa periwayat yang menduduki posisi common link perlu di curigai atau lebih dari itu, dituduh telah memalsukan hadis. Menurutnya, jika memang ditemumukan seorang periwayat, seperti al-Zuhri yang menjadi satu-satunya periwayat yang menyampaikan kepada sejumlah muridnya, akan tetapi kita mengatahui bahwa kethiqahannya diakui oleh para kritikus hadis maka tak ada alasan jika beliau memalsukan hadis. Karena kita perlu menyertakan bukti yang kuat ketika menuduh seseorang telah memalsukan hadis.
Ahli hadis pun mengakui bahwa problem periwayatan hadis secara sendirian dan implikasinya. Akan tetapi semua itu bergantung kepada perawinya. Jika perawinya seseorang Thiqah muttaqin, maka hadisnya bisa dinyatakan sebagai sahih. Sebaliknya, jika seorang perawi atau orang di bawahnya itu dinyatakan shuqud maka hadisnya dianggap munkar. Dengan demikian, interprestasi Juynboll yang mengatakan bahwa seorang common link adalah pemalsu dan pencetus hadis itu tidak dapat diterima. Sebab, diterima atau ditolaknya sebuah hadis itu tergandung kualitas seorang perawi bukan kuantitas perawinya sebagaimana kereteria yang ditetapkan Juynboll.
Ditempat lain, Juynboll menunjukan bahwa jika seorang tidak melihat seluruh isnad dalam hadis, maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang common link. Karena bisa jadi ketika seseorang itu mengakatan bahwa hadis ini hanya diriwayatkan oleh al Zuhri seorang dan ia tertuduh sebagai common link. Padahal, disisi lain jika kita teliti ada jalur lain selain al Zuhri semisal Hisyam. Maka, al Zuhri tidak lagi sebagai the real common linknya, akan tetapi orang diatasnya yang bisa dikatakan the real common link. Dan begitu seterusntya sampai isnad sambung kepada Nabi.[32]




V.       Kesimpulan
Juynboll dengan teori common link mencoba melakukan sebuah rekontruksi terhadap hadis nabi Muhammmad. Teori yang ia adobsi dari pendahulunya Joseph Schacht tersebut dalam perakteknya mereka meragukan hadis berasal dari nabi. Menurut mereka hadis merupakan buatan seorang common link. Isnad hadis sendiri merupakan hasil rekontruksi mereka, yang mana untuk mendapatkan legitimasi dari umat Islam hadis tersebut disandarkan pada orang-orang sebelumnya yang mempunyai otoritas tinggi. Kemudian hadis tersebut disebarkan oleh common link kepada para partial common link (murid-muridnya) kemudian disebarkan lagi sampai para pengoleksi hadis.
Teori common link berbeda dengan teori konvesional, yang mana teori konvesional memandang kesahihan hadis nabi dari kualitas perawi. Akan tetapi, teori common link memandang kesahihan hadis dengan kuantitas sejarah. Jika common link hadis seorang yang datang setelah abad pertama maka hadisnya perlu ditanyakan, dan bisa dikatakan palsu.
Akan tetapi, M. M Azami menganggap teori tersebut hanyalah imajinasi dari Joseph Schacht yang dikmbangkan oleh Juynboll. Dari salah satu hadis yang ditelusuri oleh Juynboll yang terdapat dalam naskah Suhaili. Yang mana pada penelitiannya Abu Shālih sebagai seorang common link. Akan tetapi, setelah diteliti ternyata para perawi pada kategori ketiga berkisar ada 20-30 orang. Dan tempat tinggal mereka saling berjauhan, sementara teks yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Dengan demikian, mustahil jika para perawi tersebut berkumpul kemudian bersepakat membuat hadis sama.
Kemudian jarang sekali ditemukan hanya perawi tuggal yang meriwayatkan hadis kepada murid-muridnya. Dalam naskah suhail pun jarang ditemukan. Dan tidak mungkin pula seorang al-Zuhri memalsukan suatu hadis yang mana semua ahli hadis sepakat akan kualitas beliau yang Thiqah. Perlu ada bukti yang kuat jika ingin meragukan kethiqahan al-Zuhri.



Daftar Pustaka
Akbar, Arfan, dkk, “Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012.
Azami, M. M,  Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition of Some Early Text . Beirut: al-Maktab al-Islam.
Idri, “Otentitas Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”. ISLAMICA, 7, 2013.
Junyboll, G.H.A, The Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt. Leiden: E.J. Brill, 1969.
Juynboll, G.H.A, Muslim Tradition: Studies In Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith. Cambridge University Press, 1983.
Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi. Yogjakarta: LKIS, 2007.
Nāisābūrī (al), Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin Muslim al Qushāirī, Sahīh Muslim. Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt.
Partanto, Pius A, dkk, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Penerbit Arkola, 1994.
Putriyanti, dkk, “Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012.

.



[1] Putriyanti,dkk, “Ignaz Goldzier dan Otentitas Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 112.
[2] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007) 2
[3] Idri, “Otentitas Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll”, ISLAMICA, 7, (2013),251.
[4] Masrur, Teori Common Link, 15.
[5] Ibid, 15.
[6] Ibid., 16.
[7] G.H.A. Junyboll, The Auntenticity of the Tradition Literature Discussion in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1969).
[8]  Masrur, Teori Common Link, 16.
[9]  Ibid., 17.
[10] Ibid., 30.
[11] Ibid., 31
[12] Ibid., VI.
[13]  Idri, Otentitas Hidis Mutawātir, 34.
[14] Masrur, Teori Common Link, 115.
[15] Pius A Partanto,dkk, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994) 178.
[16] Arfan Akbar,dkk, “Peran Gautier Juynboll dalam Meneliti Kesejarahan Hadis” dalam Kajian Orientalis Terhadap al-Qur`an dan Hadis, Ed. M. Anwar Syarifuddin, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2012), 146.
[17] Masrur, Teori Common Link,104.
[18] Sebagian besar ahli hadis di kalangan Islam dari abad pertengahan hingga masa sekarang sepakat kalau yang dimaksud fitnah dalam pernyataan Ibnu Sirrin adalah perang sipil pertama. Akan tetapi Schacht berpendapat ini perang sipil ketiga. Sendangkan J. Robson berpendapat berdasarkan bukti-bukti baru diantara dua pernyataan tersebut adalah perang sipil kedua.
[19] Abū Husaīn Muslim bin al Hajāj bin Muslim al Qushāirī al Nāisābūrī, Sahīh Muslim, (Baīrūt: Dār al Ufāq al-Jadīdah,tt) 2.
[20] Masrur, Teori Common Link,107-108.
[21] Ibid., 108-109.
[22] Ibid., 109.
[23] G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition: Studies In Choronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, (Cambridge University Press, 1983), 207.
[24]  Akbar, Peran Gautier Juynboll, 148.
[25] Masrur, Teori Common Link, 78.
[26]  Masrur, Teori Common Link, xi.
[27] Idri, Otentitas Hidis Mutawātir, 255.
[28] Ibid., 255.
[29] M. M Azami, Studies in Early Hadith Literature with A Critical Edition of Some Early Text (Beirut: al-Maktab al-Islami), 234.
[30] Masrur, Teori Common Link, 170-175.
[31] Ibid., 171.
[32] Masrur, Teori Common Link, 175.